Rissa Churria: Antara Puisi, Spiritualitas, Kebudayaan, dan Cinta - Riri Satria - Jagat Sastra Milenia

JSM News

Rissa Churria: Antara Puisi, Spiritualitas, Kebudayaan, dan Cinta - Riri Satria

Rissa Churria: Antara Puisi, Spiritualitas, Kebudayaan, dan Cinta - Riri Satria

RISSA CHURRIA: ANTARA PUISI, SPIRITUALITAS, KEBUDAYAAN, DAN CINTA

Riri Satria

(Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia)




Selamat untuk Rissa Churria yang biasa saya panggil Rissa, atau biasa dipanggil kawan-kawan Ummi Rissa, atas terbitnya buku kumpulan puisi “Bisikan Tanah Penari”. Ini adalah buku kumpulan puisi kelima setelah empat buku kumpulan puisi tungga sebelumnya yaitu: “Harum Haramain” (2016), “Perempuan Wetan” (2017), “Blakasuta Liku Luka Perang Saudara” (2019), serta “Matahari Senja di Bumi Osing” (2020).


Komunitas Jagat Sastra Milenia merasa bangga karena kembali menerbitkan buku kumpulan puisi yang berkualitas. Proses penerbitan buku ini juga tidak mudah, karena melibatkan diskusi yang mendalam dari berbagai pihak.


Saya tidak akan membahas isi buku puisi ini, namun saya akan mengulas sosok Rissa yang saya kenal sebagai pengantar untuk membaca puisi-puisi yang ada di dalam buku ini. Sementara itu, pembahasan terhadap puisi Rissa dapat dibaca pada bagian akhir buku ini melalui sebuah epilog yang ditulis sangat apik oleh Dr. Sunu Wasono, seorang dosen senior pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Beliau jauh lebih kompeten membahas puisi Rissa ini daripada saya.


Pada bulan Maret 2021 yang lalu, dalam sebuah acara forum diskusi dan baca puisi yang diselenggarakan oleh Jagat Sastra Milenia, saya menanyakan apa makna puisi bagi seorang Rissa Churria? Dengan gamblang Rissa menjawab, buat Rissa, puisi itu adalah perwujudan cinta, dan cinta itu sendiri ada tiga pilar. Pilar pertama adalah cinta yang diucapkan atau kata-kata. Ini cinta yang terdapat dalam ungkapan kata-kata indah. Lalu pilar yang kedua, cinta yang ada di dalam hati atau cinta yang dirasakan. Sedangkan yang ketiga adalah yang dilakukan atau diwujudkan dalam perbuatan nyata. Nah, ketiganya harus selaras atau sinkron, baik yang diucapkan, dirasakan, serta yang diwujudkan atau dilakukan. Ketiga pilar itu harus ditaruh dalam kerangka spiritualitas, di mana cinta itu adalah anugrah dari Tuhan, dan cinta tertinggi itu kembali kepada Tuhan.


Saya masih ingat ketika itu Rissa mengatakan bahwa puisi itu berbentuk teks walau bisa diperkaya dengan simbol lainnya non-teks, namun teks puisi ini harus lahir sebagai hasil dari sinkronisasi ketiga pilar yang tadi, yaitu kata-kata, dalam hati, serta wujud perbuatan. Puisi adalah bukti teks atau tertulis wujud cinta, namun cinta itu sendiri lebih luas dan dalam, dirasakan, diwujudkan, dan yang tertinggi adalah kepada Tuhan. Inilah jalan spiritualitas dan juga dapat diwujudkan dengan puisi. Buat Rissa, puisi juga bermakna spiritualitas.


Aspek spiritualitas ini sangat terasa pada buku kumpulan puisi pertamanya, 'Harum Haramain' yang terbit tahun 2016, berisikan puisi yang ditulis selama di Mekkah dan Madinah. Itu adalah sebuah perjalanan spiritual buat seorang Rissa Churria, dan sekaligus perjalanan penuh cinta. Cinta yang mana? Cinta yang tertinggi, cinta yang dilandasi spiritualitas, cinta saya kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Semua rasa cinta dituliskan dalam puisi. Jadi, ini adalah sebuah buku puisi tentang perjalanan spiritualitas dan cinta, yaitu cinta kepada Sang Pencipta.


Namun berbeda dengan buku “Bisikan Tanah Penari” ini. Saya yakin ini juga wujud cinta, namun ekspresi cinta Rissa kepada tanah Banyuwangi, tempat kelahirannya, kampung halamannya, dan tentu saja bagian dari sejarah hidupnya. Semua rasa cinta itu tersaji dalam wujud puisi. Rasa cintanya kepada kebudayaan dan kemanusiaan kepada Banyuwangi yang disebut sebagai Tanah Penari yang menjadi judul buku ini, beserta keseluruhan sendi kehidupan di sana terekam dengan baik dalam semua puisi Rissa. 


Dalam sebuah percakapan menjelang saya menuliskan prolog ini, Rissa menjelaskan bahwa dia menelusuri berbagai litratur, mendatangi berbagai tempat di Banyuwangi, serta mewawancarai banyak pihak terutama mereka yang sangat mengenal kebudayaan Banyuwangi. Ini menarik, ternyata buat seorang Rissa Churria, penulisan puisi dalam banyak hal harus didahului oleh “penelitian lapangan” serta “penelitian literatur”. Mengapa demikian? Rissa menjelaskan bahwa puisi itu adalah karya intelektual yang ikut serta mengungkap kehidupan manusia. Puisi walaupun disajikan untuk menggugah rasa atau batin, namun tetap harus memiliki keakuratan fakta tertentu, lalu dikemas secara kreatif. Puisi tidak bisa ditulis asal-asalan? Maka keakuratan fakta itu penting. Hal yang sangat penting untuk disadari adalah, puisi itu adalah karya intelektual, bukan sekedar main-main, maka buatlah dengan serius.


Begitulah Rissa Churria yang saya kenal sejak tahun 2016 yang lalu. Sosok yang menuliskan rasa cinta dalam bentuk puisi, baik cinta kepada kemanusiaan dan kebudayaan, cinta kepada negara, serta cinta yang tertinggi, yaitu kepada Tuhan. Buat Rissa, puisi adalah salah satu jalan spiritualitas.


Saya mendapatkan kesan demikian ketika membaca buku kumpulan puisi “Bisikan Tanah Penari” ini. Semoga sahabat pencinta puisi yang membaca buku ini mendapatkan kesan yang sama, bahkan mungkin lebih dahsyat lagi.


Sekali lagi, selamat untuk Rissa Churria.


Bogor, 12 September 2021

Disclaimer: Images, articles or videos that exist on the web sometimes come from various sources of other media. Copyright is fully owned by the source. If there is a problem with this matter, you can contact