Puisi-Puisi Cinta Chairil Anwar untuk Sejumlah Perempuan
Sofyan RH. Zaid
Perempuan bisa dibilang merupakan salah satu sumber ilham terbesar penciptaan puisi selama ini. Banyak puisi-puisi yang lahir tentang itu. Seolah perempuan telah menjadi 'tambang puitik' yang tak habis-habis digali, salah satunya oleh Chairil Anwar.
Selama hidupnya, Chairil Anwar tidak banyak menulis puisi, sekitar 70 judul kurang lebih, setidaknya dari puisi-puisi yang kita kenal selama ini -misalnya- melalui buku yang menghimpun lengkap puisinya: Aku Ini Binatang Jalang yang diterbitkan Gramedia pertama kali tahun 1986.
Di antara ‘yang tak banyak itu’, ada sejumlah puisi Chairil yang ditulis untuk sejumlah nama secara tersurat, misalnya Mirat, Ina Mia, Gadis Rasyid, Sri Ayati, Karinah Moordjono, Ida, Tuti Artic, Dien Tamaela, serta dua nama inisial yaitu Nyonya N, dan K. Siapa mereka? Sebagian ‘terang benderang’, sebagian lagi masih ‘gelap’ sampai hari ini.
Terlepas dari yang ‘gelap’ itu memang ada dan nyata orangnya, atau itu hanya nama imajiner yang Chairil hadirkan ‘seolah-olah nyata’, puisi-puisi yang ditulis Chairil untuk mereka, layak kita simak secara saksama:
SAJAK PUTIH
buat tunanganku Mirat
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
Buat mirat ku, Ratuku kubetuk dunia sendiri
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku…
18 Januari 1944
HAMPA
kepada Sri yang selalu sangsi
Sepi di luar, Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepas diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba.
Rontok-gugur segala. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
KENANGAN
untuk Karinah Moordjono
Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! Tercebar rasanya diri
Membumbung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia
19 April 1943
TUTI ARTIC
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan sus + coca cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
— kita bersepeda kuantar kau pulang —
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang,
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi… Hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
1947
INA MIA
Terbaring di rangkuman pagi
— hari baru jadi —
Ina Mia mencari
hati impi,
Teraba Ina Mia
kulit harapan belaka
Ina Mia
menarik napas panjang
di tepi jurang
napsu
yang sudah lepas terhembus,
antara daun-daunan mengelabu
kabut cinta lama, cinta hilang
Terasa gentar sejenak
Ina Mia menekan tapak di hijau rumput,
Angin ikut
— dayang penghabisan yang mengipas —
Berpaling
kelihatan seorang serdadu mempercepat langkah di
tekongan.
1948
BUAT GADIS RASYID
Antara
Daun-daun hijau
Padang lapang dan terang
Anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa berlari-larian
Burung-burung merdu
Hujan segar dan menyebar
Bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku”
Dan
Angin tajam kering, tanah semata gersang
Pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi
Kita terapit, cintaku
— mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
— the only possible non-stop flight
Tidak mendapat.
1948
BUAT NYONYA N
Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu,
dan kini dia turun ke rendahan datar.
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu,
Burung-burung asing bermain keliling kepalanya
dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada
gaun.
Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi satu
Atas puncak tinggi sendiri
berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat
kematian
Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia
sungguh tiada tahu
Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi,
Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah-
buah pandan ganjil
Turun terus. Sepi.
Datar-lebar-tidak bertepi
1949
DARI DIA
buat K.
Jangan salahkan aku, kau kudekap
bukan karena setia, lalu pergi gemerincing ketawa!
Sebab perempuan susah mengatasi
keterharuan penghidupan yang ‘kan dibawakan
padanya…
Sebut namaku! ‘ku datang kembali ke kamar
Yang kautandai lampu merah, kaktus di jendela,
Tidak tahu buat berapa lama, tapi pasti di senja samar
Rambutku ikal menyiram, kau senapsu dulu kuhela
Sementara biarkan ‘ku hidup yang sudah
dijalinkan dalam rahsia…
Cirebon, 1946
IDA
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang lengang lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan
Ria bahgia
Tak acuh apa-apa
Gembira-girang
Biar hujan datang
Kita mandi-basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi.
Februari 1943
CERITA BUAT DIEN TAMAELA
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut.
Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kurim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
1946
Berdasarkan puisi-puisi di atas, dalam penyebutan nama, ada dua model yang dipakai Chairil, pertama sebagai ‘sub-judul’ semacam ‘persembahan’, dan yang kedua langsung sebagai ‘judul’ puisi.
Apakah Chairil hanya menulis satu puisi untuk satu nama? Tidak. Puisi buat Mirat, misalnya, dia menulis lebih dari satu, meski tidak dihadirkan semua di sini. Puisi untuk Sri Ayati, ada dua puisi yang dihadirkan di sini, mengingat kedahsyatan puisinya.
Ke depan, kita berharap perempuan tidak hanya menjadi objek penciptaan, tetapi juga lebih banyak lagi menjadi subjek yang mencipta dalam perpuisian Indonesia.
Bekasi, 2018