Untuk melengkapi buku ini, kami (tim editor)
melakukan wawancara dengan Riri Satria
dengan alasan untuk keperluan konten website JSM demi untuk menjaga
kerahasiaan buku ini agar tetap menjadi ‘kado kejutan’.
ADA SEBELAS (11) draf
pertanyaan yang kami buat dan ajukan, sebagian berisi pertanyaan yang agak
sensitif. Namun, kami putuskan untuk tetap ditanyakan demi asas keterbukaan dan
informasi bagi kita semua. Berikut hasil wawancaranya:
1. Orang-orang yang berjalan di dunia sastra,
secara garis besar kami petakan menjadi tiga golongan: (a) Mencari ruang atau
kadang disebut panggung; (b) Mencari uang atau keuntungan secara materi; dan
(c) Mencari sesuatu, bisa jadi jati diri, kebahagiaan, hiburan, dan sejenisnya.
Nah, dari tiga golongan tersebut, Anda cenderung masuk golongan yang mana?
Kalau demikian pertanyaannya, jawaban saya adalah mencari kebahagiaan menuju
keseimbangan dalam hidup. Kalau mencari panggung tentu tidak, karena sastra bukanlah panggung saya. Saya sudah memiliki panggung di dunia yang lain, misalnya di dunia bisnis dan manajemen, dunia teknologi
dan transformasi digital, serta dunia akademik. Bisa jadi sastra panggung
saya juga, tetapi ini adalah panggung yang tidak sengaja.
Namun buat saya, bersastra terutama berpuisi serta bergaul dengan teman-teman penyair itu
menyeimbangkan kehidupan antara proses yang sangat analitis berpikir penuh
kalkulasi angka-angka dengan hal-hal yang sifatnya perasaan, rasa empati dan
seterusnya. Di dunia sastra rasa kepekaan dan kemanusiaan saya lebih terasah. Saya merasa hidup saya lebih berwarna dan siapa tahu saya juga bisa berbuat sesuatu
untuk sastra Indonesia.
2. Dari sejumlah sumber kami menghimpun, Anda salah
satu orang yang begitu tinggi menghargai sastra dan sastrawan, misalnya
mendukung secara moril dan materil acara-acara sastra, atau memberikan honor
profesional kepada sastrawan yang melakukan kerja-kerja kesusastraan bersama
Anda. Sebenarnya, apa motif Anda kok bisa melakukan hal selangka itu?
Motifnya adalah justru mengejawantahkan prinsip dasar dari sastra itu
sendiri, yaitu memanusiakan manusia. Menurut saya, salah satu
upaya untuk memanusiakan manusia itu adalah dengan memberikan haknya sesuai
dengan apa yang sepantasnya ditempatkan. Sastra adalah karya intelektual dan memiliki anugerah hadiah Nobel. Sastra itu karya intelektual sehingga
sastrawan itu harus dihargai dengan baik, seperti halnya kita menghargai profesi-profesi
yang lain. Itu prinsip saya, sehingga dengan demikian sastra sebagai karya
intelektual dan penjaga peradaban mendapatkan tempat yang terhormat.
Sebagai contoh, misalnya soal honorarium. Ketika honor profesional mereka
kecil, maka mereka akan dipandang sebelah mata oleh para profesional yang lain.
Pada akhirnya, sastra hanya akan dianggap main-main, hal sampingan saja,
kerjaan orang yang tidak jelas hidupnya. Padahal tidak demikian. Saya ingin
mendobrak stigma tersebut!
3. Kami juga tahu, bahwa ini suka sekali menjaring naskah-naskah
sastra yang layak, baik di eskternal maupun internal JSM yang Anda dirikan
bersama kawan-kawan, kemudian Anda bantu biaya penerbitannnya? Anda punya
tujuan apalagi sih terkait hal ini?
Sebuah karya sastra itu tidak akan pernah bermanfaat untuk masyarakat kalau
ia tidak dibaca oleh masyarakat. Maka, sastra sebagai upaya memanusiakan
manusia, penjaga peradaban, harus disebar-luaskan supaya bisa dibaca dan
diinternalisasi oleh masyarakat. Maka, salah satu caranya
adalah dengan memberikan fasilitas penyebarannya. Entah itu berupa buku atau membuat
website elektronik atau apapun, bahkan kesempatan untuk membacakannya di depan khalayak ramai. Tentu saja saya mau memfasilitasi
hal tersebut sesuai dengan kemampuan saya.
4. Sebagaimana kita ketahui bersama, Anda begitu
antusias agar bisa memiliki sebuah media sastra. Kemudian Anda mengakuisisi
website sastramedia com, di mana Anda duduk sebagai Pimpinan Umum. Setiap
minggunya Anda rutin mengeluarkan uang sebagai bentuk apresiasi kepada mereka
yang karyanya dimuat. Sebenarnya, apa sih tujuan Anda?
Jawaban saya sama dengan sebelumnya, yaitu memanusiakan manusia, menjaga
peradaban, sehingga karya sastra harus disebarkan seluas-luasnya, misalnya
melalui sastramedia.com ini. Selain itu, melalui media
ini saya berharap bisa menghimpun dan mendokumentasikan
karya-karya sastra yang bermutu dan turut mendorong lahirnya bibit-bibit unggul baru dalam kesusastraan Indonesia. Jadi, sebetulnya tidak ada tujuan tersembunyi dalam hal ini.
5. Anda juga punya kebiasaan kerap memborong
buku-buku sastra karya para sastrawan yang Anda kenal, kemudian Anda bagikan ke
kawan-kawan. Apa Anda sebenarnya merasa kasihan sebab tahu buku sastra di
Indonesia kurang laku?
Sebetulnya bukan karena kasihan atau karena buku sastra kurang laku, tetapi
saya membagikan ke kawan-kawan itu sebagai proses edukasi, supaya kawan-kawan
juga bisa membaca dan memberikan apresiasi. Selain itu, yang saya bagi-bagikan
ke kawan-kawan itu bukan cuma buku sastra Indonesia semata, melainkan
juga buku sastra dari luar negeri. Misalnya saat saya pulang dari Paris, Prancis, saya membeli banyak buku puisi dan saya bagikan. Jadi, ini murni hanya
untuk berbagi.
Alasan lainnya, beberapa kawan itu ternyata kesulitan ekonomi untuk
membeli buku sastra. Jadi, semuanya serba sulit, menjual buku sastra sulit, membeli buku sastra juga sulit. Ya, sudahlah
harus ada yang menjadi perantara antara buku sastra dan pembacanya. Itulah yang saya lakukan.
6. Di sejumlah esai dan pembicaraan Anda, selalu
menyebut bahwa sastra itu sejajar dengan bidang fisika, kedokteran, atau bidang
lain yang masuk kategori hadiah Nobel. Namun, faktanya karya sastra di
Indonesia tidak setinggi itu. Apakah Anda optimis kita bisa mencapai kesadaran
semacam itu? Jika iya, apa ada langkah-langkah taktis atau idelis yang harus
kita lakukan?
Pertama, persoalan terbesar kita ada di mindset yang salah. Waktu saya sekolah di SMA dulu, kita sudah dikategorikan
berdasarkan numerik. Jurusan A1 Fisika, A2 Biologi, A3 Sosial, dan A4 Budaya. Artinya kalau sudah ada
angka numerik yang berurutan 1234, alam bawah sadar manusia itu merangking
sesuatu. A1 Fisika itu yang tertinggi, lalu A2 Biologi itu kedua, dan seterusnya. Di mana sastra? A4, paling terakhir. Artinya
derajatnya sastra itu, adalah jurusan orang yang tidak diterima jurusan lain. Bahaya kan mindset
seperti ini?
Mindset ini salah sejak
awal. Harusnya tidak usah menggunakan numerik, disebutkan saja langsung jurusan
Fisika, jurusan Biologi, tidak usah pakai rangking A1, A2 A3, dan seterusnya, sehingga kita
bisa mengapresiasi sebuah bidang keilmuan itu dengan baik.
Kedua, adalah kita juga salah mendefiniskan kata kecerdasan sejak kita
sekolah. Coba bayangkan di sekolah kita sejak SD, SMP, SMA, yang disebut anak pintar dan juara 1 di kelas itu kalau
jago matematika, fisika dan seterusnya. Di
mana posisi anak-anak yang jago sastra? Di mana posisi anak-anak yang jago
olahraga? Di mana posisi anak-anak yang jago musik? Mereka tidak dianggap anak
cerdas kan karena yang rangking cerdas itu adalah kemampuan matematika, fisika, dan sebagainya. Maka sebetulnya yang terjadi di kita itu secara mindset, kita sudah dijejali sejak awal bahwa sastra itu
tidak cerdas. Itulah yang menjadi keprihatinan saya.
Saya meyakini bahwa yang disebut dengan cerdas itu termasuk kecerdasan
dalam sastra. Saya ingin mengatakan sastra itu cerdas. Saya pernah berapa
kali berbicara street smart, bahwa cerdas itu tidak
identik dengan pendidikan formal. Cerdas itu tidak
identik dengan ilmu pengetahuan tertentu. Cerdas itu identik dengan kemampuan
menganalisis dan berkarya. Bahkan orang yang tidak pernah kuliah pun bisa saja
cerdas. Itu yang saya maksud street smart.
Jadi, sekali lagi buat saya yang namanya kecerdasan itu adalah sesuatu yang
tidak tergantung pada ilmu bidang tertentu. Tidak tergantung pada tingkat
pendidikan formal serta
latar belakang sosial seseorang. Nah, ini yang harus kita bereskan supaya sastra itu diterima sebagai
sesuatu yang yang cerdas.
Kita harus membangun kesadaran baru. Bagaimana mungkin kita membangun
kesadaran kalau sejak dari sekolah di awal saja kesadaran itu sudah dibunuh
dengan menaruh posisi budaya dan sastra itu pada level terakhir. Ini salah satu
misi dalam hidup saya. Saya sebagai orang yang berkecimpung dalam sains teknologi
dan ekonomi, ingin dengan lantang mengatakan sastra itu cerdas. Sastra itu
milik semua orang walaupun kita bergaul di bidang sains, teknologi, ekonomi, bahkan jabatan CEO sekali pun. Sastra itu inklusif.
7. Bulan ini, Anda sudah berusia 52 tahun, sudah separuh abad lebih. Dalam hidup Anda,
adakah mimpi yang masih ingin dicapai baik secara personal karier, atau secara
komunal bersama Jagat Sastra Milenia?
Saya merasa saya sudah berada di puncak karier dan itu sangat saya syukuri. Apa yang saya peroleh
sekarang sudah sangat optimal, dan kalau saya masih
memperoleh sesuatu yang lebih dahsyat daripada yang sekarang, itu sudah
anugerah Yang Maha Kuasa yang tidak ternilai. Namun, alhamdulillah,
sekarang saya secara ekonomi tidak hanya berkecukupan, tapi dikaruniai rezeki
yang berlebih, walaupun tidak berlebihan dalam kategori mewah. Dengan demikian saya bisa berbagi dengan kawan-kawan.
Lalu apa yang ingin saya capai lagi? Saya ingin mencapai ketenangan. Saya
ingin berbagi. Saya ingin membuat sesuatu untuk kehidupan. Artinya apa ya,
kalau karier sudahlah. Saya tidak ada ambisi lagi. Saya ingin membahagiakan banyak orang sesuai kemampuan
saya dan itulah kebahagiaan saya.
Saya selalu ingat kata-kata almarhum Papi yang selalu mengatakan bahwa
kebahagiaan terbesar adalah ketika kita bisa membuat orang lain bahagia dan
membuat hidup bahagia. Kehidupan yang bahagia artinya kehidupan yang bermanfaat untuk orang lain. Mudah-mudahan saya
bisa memenuhi nasehat Papi. Kalimat yang mudah diucapkan, tetapi itu sangat
sulit untuk diterapkan.
8. Di awal Anda terjun ke dunia sastra, orang-orang
mengenal Anda sebagai salah satu ikon di komunitas Dapur Sastra Jakarta (DSJ).
Namun setelah beberapa tahun Anda memilih memundurkan diri. Boleh tahu, kenapa
Anda melakukan itu?
Jawabnya simple, ketika kita memiliki visi dan misi yang sudah tidak sama
cara terbaik adalah berpisah. Ketika visi dan misi itu sudah tidak sejalan
kalau dipertahankan akan menimbulkan sakit hati, tapi kalau masih bisa
dipertahankan ada titik temu yang dipertahankan. Kalau misalnya tidak bisa, ya
lebih baik berpisah. Begitu juga saya dengan Dapur Sastra Jakarta. Jadi, tidak ada yang salah sama sekali,
semuanya hanya karena misi dan visi yang sudah tidak sejalan lagi dengan DSJ. Maka,
saya memutuskan untuk mengundurkan diri dan itu adalah hal yang lumrah. Kita menempuh jalan masing-masing
saja.
9. Setelah Anda lama berkecimpung di dunia sastra
yang Anda pernah bilang tidak jauh berbeda dengan dunia bisnis dan politik,
terutama terkait konflik antara golongan dan ideologi, apa kini Anda menyesal?
Terus terang, saya tidak pernah ada kata-kata penyesalan dalam hidup saya. Menurut saya, penyesalan itu adalah milik pengecut. Harusnya yang
ada adalah kita tidak menyesal, tetapi kita mengevaluasi diri dan kemudian
melakukan putar balik
atau turnaround. Saya tidak
pernah menyesali apa yang terjadi, tapi saya langsung memperbaiki situasi. Menyesal
hanyalah kalau kita berbuat salah, misalnya menyakiti hati orang lain, maka,
saya menyesal dan minta maaf. Menyesal itu karena ada perasaan bersalah.
Saya percaya ketika kita membuat sebuah pilihan, maka itu adalah jalan atau
takdir yang ditentukan dari langit juga perkara kemudian pilihan itu tidak
tepat karena ada visi dan misi berbeda tidak ada penyesalan. Kita lakukan turnaround, kita berbalik arah, kita berpisah dan kita memulai sesuatu yang baru.
Maka, saya berharap Jagat Sastra Milenia adalah sesuatu yang baru dan saya
tidak pernah menyesal atas itu. Sekali lagi, penyesalan dalam hidup saya adalah
ketika saya menyakiti orang lain. Itu penyesalan, dan saya bisa minta maaf
dengan cara-cara yang tidak diperkirakan oleh orang tersebut.
10. Sampai hari ini, tidak ada definisi yang final
perihal puisi. Ada yang bilang puisi itu curhat dan sebagainya. Menurut Anda
sebagai seorang sainstis, puisi itu apa ya?
Sangat yakin bahwa puisi
adalah karya intelektual, juga sebagai cara manusia memahami semesta dengan
penalaran rasa atau batin, melengkapi penalaran pikiran yang dilakukan oleh
ilmu pengetahuan atau sains. Puisi adalah salah satu pembentuk
dan penjaga kehidupan dan peradaban,
sehingga sangat relevan sampai kapan pun.
Kedahsyatan puisi terletak kepada pengalaman dan
ungkapan batin si penyair, maka puisi tidak akan pernah digantikan oleh mesin
dengan algoritma apapun. Puisi itu memiliki kemiripan
dengan persamaan matematika dan algoritma pemrograman, yaitu sama-sama
merepresentasikan situasi yang kompleks dengan simbol-simbol yang sederhana.
Namun puisi juga harus masuk ke berbagai ruang kehidupan, tidak hanya
sebatas lingkungan penyair semata, harus masuk ke dunia ekonomi, bisnis,
politik, teknologi, sosial, dan lainnya.
Sebab puisi adalah
penjaga rasa dan batin, yang semakin memanusiakan kita.
11. Orang yang suka dan menulis puisi, biasanya
punya ambisi untuk menjadi penyair dengan nama yang besar. Bahkan ambisinya itu
lebih besar daripada kerja kerasnya dalam menciptakan puisi. Apakah Anda orang
yang sama?
Saya tidak ada
ambisi menjadi penyair terkenal, menulis puisi ya menulis saja agar kian menjadi manusia. Namun saya memiliki visi untuk membantu meningkatkan dunia sastra
di Indonesia dan memfasilitas para penulis sastra untuk berkarya lebih baik.
Visi lebih kepada menjadi fasilitator pada dunia sastra.
Saya masih punya impian
memiliki sekolah menulis yang dikelola bersama para penulis yang memiliki visi yang sama, serta memiliki media daring
yang memuat karya sastra yang berkualitas. Alhamdulillah, impian kedua ini sudah terwujud dengan adanya SASTRAMEDIA.COM, tinggal impian yang pertama belum.
Ambisi untuk menjadi penyair lebih besar daripada kerja kerasnya dalam
menciptakan puisi, itu tadi pernyataan yang menarik ya. Kalau saya pribadi, sangat percaya bahwa penulis yang
baik adalah pembaca dan pembelajar yang baik juga. Maka bagi seorang pembelajar, kita bisa
belajar dari siapa saja, tak pandang usia, jabatan, pendidikan,
profesi, dan sebagainya. Belajar dari siapa saja karena
Tuhan menurunkan ilmu kepada setiap manusia.
Hal semacam itu saya juga terapkan sebagai prinsip dasar JSM, yakni
semangat 5Q, quality
of learning, quality of writing, quality of motivation, quality of friendship,
serta quality of management dalam mengelola komunitas sastra yang baik.