Membaca Yoevita lewat Puisinya - Riri Satria - Jagat Sastra Milenia

JSM News

Membaca Yoevita lewat Puisinya - Riri Satria

Membaca Yoevita lewat Puisinya - Riri Satria

MEMBACA YOEVITA LEWAT PUISINYA

Riri Satria



“Uda, jika nanti seandainya ada apa-apa denganku, tolong Uda selesaikan buku puisiku yang terakhir ini ya”, tiba-tiba Yoevita menyampaikan sesuatu yang sangat mengagetkan, saat itu pertengahan bulan Januari 2021. 


“Ah, ngomong apa sih kamu?”, saya menatap tajam mata Yoevita saat itu. “Ayo, fokus saja kita selesaikan pengumpulan puisi ini, nanti segera kita seleksi, kita olah, kita edit seperlunya, supaya bisa diterbitkan sebagai buku kumpulan puisimu yang ketiga”, saya melanjutkan.


“Tetapi Uda harus janji, akan menyelesaikan buku ini sampai terbit nanti”, Yoe menimpali sambil menatap mata saya dengan serius.


“Ya, janji. Pokoknya buku puisimu ini harus terbit nanti”, saya menjawab secara normatif saja. Lalu Yoevita tersenyum, “Terima kasih, Uda”.


Ketika menulis pengantar ini pada awal bulan April 2021, saya kembali teringat percakapan kami pada pertengahan bulan Januari 2021 itu. Ya, percakapan dua setengah bulan yang lalu. Namun sekarang sudah berpisah alam kehidupan. Apakah Yoevita sudah mendapatkan tanda-tanda dari Langit bahwa waktunya tak lama lagi habis di dunia? Entahlah. Satu bulan setelah percakapan kami itu, tepatnya tanggal 16 Februari 2021, Yoevita wafat setelah bertarung melawan Covid-19, dan dimakamkan di TPU Bambu Apus, Jakarta Timur.


Sekarang saya sedang menulis pengantar untuk buku puisi Yoevita ini, menunaikan permintaan atau amanah almarhumah.


Sejak awal bulan Desember 2020, saya membantu Yoevita untuk mengumpulkan dan menyeleksi puisi-puisi yang dia tulis sepanjang tahun 2020 untuk dibukukan. Kesibukan dengan pekerjaan saat itu membuat saya tidak bisa membantu dengan intensif. Sampai pertengahan bulan Januari 2021, kami baru berhasil menyeleksi sekitar 75% dari semua puisi yang ditulis Yoevita, yang jumlahnya hampir 200 puisi. Sebuah jumlah yang fantastis menurut saya, mengingat kondisi fisik Yoevita yang tidak prima lagi pada tahun 2020, setelah diopname di rumah sakit selama sebulan di bulan Februari-Maret 2020. Bahkan setelah itu, Yoe harus dibantu dengan kursi roda untuk mobilitasnya serta menjalani cuci darah dua kali seminggu. Khusus untuk kursi roda ini, Yoe membuatkan puisi tersendiri. 


Puisi-puisi Yoevita tersebar di Facebook, grup WhatsApp, serta dokumen yang dikirimkan ke berbagai buku antologi. Ini dikumpulkan satu persatu, tentu saja yang bisa dilacak. Saya juga meminta bantuan beberapa sahabat di berbagai grup sastra jika seandainya Yoevita pernah menulis puisi di grup tersebut, baik di Facebook maupun WhatsApp. Proses mengumpulkan ini ternyata tidak mudah, namun berkat bantuan banyak pihak, bisa dilakukan dengan baik, termasuk keluarga besar Yoevita. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih banyak.


Sebelum wafat, Yoevita melakukan proses seleksi sendiri, dan saya hanya menjadi seorang second opinion untuk memberikan pertimbangan. Saat itu kami memiliki dua faktor yang dipertimbangkan, yaitu kualitas tulisan puisi itu sendiri, serta kekuatan tingkat emosi Yoevita atas suatu kejadian. Jadi bisa jadi ada puisi yang mungkin secara kualitas penulisan biasa-biasa saja, namun memiliki ikatan emosi yang tinggi dengan Yoevita atas suatu kejadian. 


Saya dan Yoevita sering nongkrong di Kafe Cerita di Jalan Otista, Jakarta, untuk membahas puisi-puisi ini. Tak jarang kami pun berdebat karena memiliki sudut padang yang berbeda. Kata-kata Yoevita yang kerap saya dengar adalah, “Uda terlalu terstruktur mikirnya, terlalu matematik dan mekanistik, coba lebih mengasah untuk melihat sesuatu itu dengan kepekaan rasa dan hati”. Kalau sudah ditimpali kata-kata demikian, saya diam saja. Bukankah Yoe sudah sangat kreatif serta imajinatif, dan saya mengimbangi dengan pola yang disebutnya itu? Namun walaupun sering berdebat, kami menjadi tetap teamwork yang baik.


Alhamdulilah, proses penyusunan buku ini akhirnya rampung juga. Pada bulan Maret 2021, saya melanjutkan dan merampungkan buku puisi Yoevita ini. Terima kasih untuk dua sahabat, Nunung Noor El Niel serta Emi Suy untuk ikut serta sebagai second opinion, dalam upaya menuntaskan amanah yang diberikan almarhumah Yoevita sebelum wafat. Keduanya saya mintakan pendapat terkait puisi-puisi Yoevita sebelum difinalkan pada buku ini. Atas saran keduanya, maka puisi Yoevita pada buku dibagi atas beberapa tema utama, yaitu Doa, Perjalanan, Perempuan, Covid-19, serta Terkasih.


Topik ini juga menandakan perubahan pada puisi-puisi Yoevita sejak tahun 2019. Sebelum tahun 2019, tulisan Yoevita banyak berisikan pemberontakan, kemarahan, ketidakpuasan, protes, dan sejenisnya. Bahkan posting atau status Facebook Yoevita pun banyak berisikan hal-hal semacam itu. Puisi-puisi Yoevita pada buku pertamanya Pengantin Puisi banyak memuat puisi demikian. 


Sedangkan pada buku Opera Tujuh Purnama terasa ada perubahan. Puisi yang bernuansa doa dan penyerahan diri kepada Tuhan sudah mulai banyak, walaupun puisi tentang protes, benci kemunafikan, ketidakadilan, masih cukup banyak. Buku puisi “Opera Tujuh Purnama” terasa lebih adem, walau nuansa rebelian masih terasa.


Nah, pada buku ini, nuansa doa dan penyerahan diri kepada Tuhan sudah banyak, ditambah dengan puisi tentang perjalanan hidup. Sementara itu pemberontakan masih ada terasa di puisi tentang perempuan. Lalu, Yoevita cukup banyak menulis puisi tentang pandemi Covid-19, ada sikap sulit menerima keadaan, namun tetap berserah diri kepada Tuhan. Akhirnya, Covid-19 jugalah yang menghentikan puisi Yoevita untuk selamanya di alam kefanaan.


Apakah Yoevita mengalami perubahan? Bisa jadi. Mari kita simak kata-kata Yoevita pada sebuah status di halaman Facebook miliknya, serta diulas pada buku Reborn! Move On! yang berisikan catatan ringan yang ditulis Yoevita:


“Ada manusia yang diberikan keberuntungan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga bisa menemukan jati dirinya sejak dini lalu menyusun visi untuk hidupnya ke depan. Namun tidak semua manusia seberuntung itu. Banyak juga orang seperti saya yang karena dinamika perjalanan hidup hanya mengalir seperti air waktu demi waktu, sehingga tidak sempat memikirkannya. Siapakah saya sebenarnya? Apa tujuan hidup saya? 


Saya baru menyadarinya awal tahun 2019. Terlambat dari sisi usia. Namun seperti kata pepatah tidak ada kata terlambat! Saya tertatih-tatih dalam proses menemukan jati diri tersebut. Saya tersentak, banyak hal yang sempat hilang dalam hidup saya.


Ada tiga hal penting yang saya pelajari selama proses itu. Pertama, hidup tanpa jati diri dan tanpa visi, adalah hidup yang tak berarti. Kedua, Tuhan tidak mengubah nasib seseorang, jika dia tak berupaya mengubah nasibnya sendiri terlebih dahulu. Ketiga, Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tetapi mungkin kita tidak sadar atau mata dan pikiran kita tertutup sehingga tak mampu melihat kasih sayang Tuhan pada diri kita. Kita harus menemukannya sendiri dan menyukurinya dalam menjalani hidup.”


Membandingkan tiga buku kumpulan puisi karya Yoevita, kita akan menemukan suatu proses perubahan, atau transformasi diri seorang Yoevita Soekotjo. Semakin lama, puisi Yoevita semakin banyak memperlihatkan komunikasinya dengan Tuhan, dan puisi yang berisikan pemberontakan dan kemarahan sudah jauh berkurang. Suatu proses transformasi diri yang menarik. Ketiga buku puisi Yoevita serta satu buah buku catatan ringannya benar-benar menceritakan siapa sosok Yoevita sebenarnya, mulai dari kemarahannya, pemberontakannya, sampai akhirnya melakukan transformasi diri, dan semakin banyak berdialog dengan Tuhan melalui puisi. 


Satu-satunya kemarahan atau pemberontakan yang menjadi puisi Yoevita pada tahun 2020 adalah aksi #saveTIM di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Namun Yoevita punya penjelasan tentang hal ini, seperti yang dia tulis pada halaman Facebook miliknya:


“Saya tidak menentang revitalisasi TIM, sama sekali tidak. Saya malahan mendukung supaya para seniman mendapatkan tempat yang layak untuk berkesenian di tengah kota Jakarta, sekaligus akan membuat Jakarta semakin berbudaya. Namun, saya menentang revitalisasi TIM jika sampai menghilangkan marwah TIM sebagai sentra seni budaya dan menjadikannya sebagai sentra ekonomi dengan seni dan budaya hanya sebagai pelengkap! Jika memang TIM mau direvitalisasi, maka tujuannya tetap menjadi rumah para seniman dan budayawan, tanpa dikotori oleh kepentingan bisnis dan ekonomi. TIM harus tetap menjadi sentra kesenian dan kebudayaan dengan segenap marwahnya. Begitulah pendirian saya.”


Kapankah puisi terakhir ditulis oleh Yoevita? Jawabnya, sekitar tujuh jam sebelum Yoevita meninggal pada tanggal 16 Februari 2021, pukul 03.30 dini hari. Saya menerima kiriman puisi dari Yoevita lewat pesan WhatsApp pada tanggal 15 Februari 2021 sekitar pukul 20.10. Puisi ini membuat saya dan beberapa sahabat, juga keluarga besar Yoevita merinding, karena pada puisi itu Yoevita seolah ingin mengatakan bahwa dia sudah melihat cahaya Tuhan, dan mendoakan semua orang-orang yang terbaik untuk dirinya. Sebuah puisi ucapan perpisahan, dan inilah puisi terakhir yang ditulis oleh Yoevita. Puisi tersebut dijadikan puisi pertama pada buku kumpulan puisi Yoevita ini.


Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada para sahabat yang telah membantu penyusunan buku puisi Yoevita Sampailah pada Bait Terakhir Ini, sekaligus penutup semua puisi Yoevita di dunia. Terima kasih kepada Nunung Noor El Niel dan Emi Suy yang menjadi second opinion untuk proses penyusunan, Sofyan RH Zaid dari TarBooks yang membuat buku ini diterbitkan. Ucapan terima kasih diberikan kepada tiga akademisi yang membahas buku puisi Yoevita sebelumnya, yaitu Dr. Sunu Wasono, Maman S. Mahayana, serta Dr. Hermawan An. Ulasan ketiga akademisi ini membuat kita lebih memahami sosok Yoevita melalui puisi-puisinya. 


Ucapan terima kasih juga diberikan kepada keluarga besar Yoevita terutama Munira Gita Utami (anak), Daeng Syahrir (suami), Helena Sukoco (Ibu Tiri), serta Leo Agus Sucahyo (adik), yang banyak memberikan pandangan tentang puisi Yoevita sehingga melengkapi pemahaman kita mengenai sosok Yoevita.


Selamat jalan wahai penyair

Selamat jalan sahabat terkasih

Selamat jalan, Yoe

Berpuisilah dengan damai

dalam keabadian

bersama Sang Penyair Agung


Jakarta, 8 April 2021


Disclaimer: Images, articles or videos that exist on the web sometimes come from various sources of other media. Copyright is fully owned by the source. If there is a problem with this matter, you can contact