Tersesat ke Jalan Sunyi - Emi Suy - Jagat Sastra Milenia

JSM News

Tersesat ke Jalan Sunyi - Emi Suy

Tersesat ke Jalan Sunyi - Emi Suy

Tersesat ke Jalan Sunyi

Emi Suy

 


“Nasib adalah kesunyian masing-masing.”

-Chairil Anwar

 

SAYA masih menyukai “sunyi” sebagai sumber ide penciptaan puisi. Dalam manuskrip ini, hampir semua puisi saya melulu sibuk “ngurusin” perkara (ke)sunyi(an) dengan menggali berbagai makna sunyi yang terkandung.

Makna sunyi itu menjadi lebih mewah lagi bagi perempuan pada umumnya khususnya saya sendiri. Untuk mengalami dan merasakan esensi sunyi tentu tiap orang berbeda-beda. Sebagian perempuan melalui sunyi bisa menziarahi labirin dirinya. Sebagian perempuan lainnya terlebih yang berstatus istri, ibu, atau -sekaligus- buruh, mau tak mau harus jungkir balik menebus waktu, menembus partisi-partisi kesunyian demi menjaga bangunan kehormatan diri dan keluarga.

Saya pribadi merasa sunyi sebagai hal yang mutlak diperlukan setiap orang, terlebih bagi diri saya sendiri yang memang sengaja menyesatkan diri di jalan maupun (ruang) sunyi. Dalam lingkungan hidup sehari-hari yang bising dan asing, bisa menemukan dan merasakan kesunyian adalah sesuatu yang mewah.

Tanpa sunyi, kita tak punya ruang-waktu untuk bercermin, kita tak punya ruang-waktu untuk mengenali diri, kita kehilangan ruang-waktu untuk mendengarkan dan merasakan aliran napas sendiri. Di mana kita dari hari ke hari semakin jauh dari diri kita sendiri dan asing. Dengan demikian, Ayat Sunyi ini merupakan ruang waktu tersendiri di mana saya bisa menemukan kesunyian, barangkali juga pembaca.

Kesunyian pada sebuah tempat, ternyata tidak hanya sebagai gateway yang dicari-cari banyak orang untuk melarikan diri dari rutinitas, tapi juga mampu membuat otak jadi lebih sehat. Di dunia yang penuh dengan keriuhan dan kebisingan, tawaran tempat yang sunyi seketika menjadi sebuah manifestasi wisata yang sangat menarik.

Menulis puisi sunyi di tempat sunyi dalam situasi dan kondisi sunyi adalah hal terindah yang pernah saya lakukan. Selain mengobati diri saya sendiri, setidaknya kelak menjadi ‘jejak’: raga boleh tiada, usia boleh usai, namun puisi tak pernah mati.

Akhirnya, saya pun sepakat dengan Seno Gumira Ajidarma, bahwa setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya SENDIRI.

 

Jakarta, 2021

Disclaimer: Images, articles or videos that exist on the web sometimes come from various sources of other media. Copyright is fully owned by the source. If there is a problem with this matter, you can contact