Nastar dan Lebaran yang Sepi
Shantined
Aroma lebaran mulai tercium. Aroma yang
beberapa tahun ini meracuh pikiranku. Biasanya seminggu puasa, tetangga kanan
kiri memasak selai nanas untuk isian kue kering nastar. Harumnya
menyengat.Campuran gula, kayumanis, dan nanas yang diparut atau diblender, lalu
dijerang di atas perapian hingga menyusut airnya dan berubah warna menjadi
coklat tua itu menguarkan wangi yang khas. Selai nanas itu nantinya dipulung
dan diselipkan dalam adonan tepung untuk dioven menjelma menjadi kue nastar
yang cantik dan lezat. Di penjuru rumah yang lain, juga telah tercium aroma kue
kering mungkin jenis yang berbeda, yang tengah masuk oven. Seakan aroma itu saling
bersahutan, memanggil untuk segera ikut mengolah kue juga, mumpung masih ada
waktu sebelum lebaran benar-benar telah dekat. Seperti yang selalu dilakukan
oleh mendiang mertuaku, dulu aku pun membuat kue kering sendiri.
“Jadi
perempuan harus lihai memasak kue sendiri untuk Lebaran. Juga masakan yang akan
disuguhkan di hari raya. Selain lebih berkualitas, juga pasti lebih hemat
daripada beli jadi” demikian beliau menasehatiku. Begitulah, lalu tiba-tiba
saja aku suka berlama-lama di dapur, mengulir adonan tepung menjadi nastar, keranjang,
kastengel, putri salju, juga aneka bolu bahkan kue -kue basah lainnya yang
dengan singkat kukuasi resep dan cara memasaknya.
Tapi
beberapa tahun ini aku memutuskan untuk tidak memasak kue kering lagi. Bukan
karena tak ada uang untuk membeli butter, telor dan tepung. Tapi aku
menghindari suasana yang tak bisa kuelakkan ketika membuat kue-kue itu.
Kenangan buram tentang suamiku yang meninggal di bulan Ramadhan tujuh tahun
silam, disusul oleh ibu mertuaku tak lama berselang membuatku tak punya hasrat
untuk berlama-lama di dapur memasak kue. Suamiku memang telah lama menderita
sakit sesak nafas. Dua bulan sebelum puasa bertambah parah sakitnya. Berujung
kematian yang memilukan. Bagaimana tidak? Malam itu aku sedang sibuk bersama
ibu mertua menyelesaikan lima kilo adonan kue kering. Sampai larut malam kami
berkutat dengan panasnya oven dan adonan yang bergumpal di tangan. Aku tak
sempat mendengar rintihannya di kamar belakang. Batuknya hanya lamat-lamat di
telingaku. Sudah minum obat batinku, lalu aku terus menyelesaikan pekerjaan.
Tiga perempat malam, aku kembali ke kamar dengan kantuk yang sangat. Tapi tak
kusangka, suamiku telah membujur kaku. Aku berteriak sekuat mungkin, menolak
apa yang terjadi. Berjuta penyesalan kenapa aku lebih memilih fokus memanggang kue
sedangkan ia sebenarnya telah sangat lemah, membutuhkanku di sampingnya malam
itu. Aroma kue menjadi trauma tersendiri untukku. Seakan aroma itu yang
membunuh suamiku. Membuatku mengutuk diri sendiri. Seandainya malam itu aku
memilih menunggu suamiku, tentu ia tak sampai meninggal dalam posisi menggapai
inhaler yang terletak agak tinggi.
Bertahun-tahun
setelahnya aku tak tahan ketika mencium aroma kue kering yang dimasak. Meski dua
tahun setelah kepergian suamiku aku telah menikah dengan seorang pria baik,
yang tak suka menyuruhku membuat kue kering di saat bulan Ramadhan, namun
pernikahan kami hanya bertahan seumur jagung. Juga hubunganku dengan pria muda
tampan namun begajulan setelahnya, hanya membuat hidupku seperti roll
coaster, jungkir balik. Saat ini pun aku sedang didekati seorang juragan
gerabah sukses yang mengekspor berbagai produknya ke luar negeri. Pria tua seusia
ayahku. Ajakannya untuk menikah belum kutanggapi serius. Aku tak ingin hidupku
ngambang dan galau membayangkan hidup dengan rentang usia yang jauh. Harus
punya persiapan dan bekal ilmu yang cukup untuk itu. Kami bertemu di kantorku
untuk urusan pengiriman barang. Kuakui aku tertarik oleh gayanya yang sederhana
tapi elegan. Ia mengajakku ngobrol tentang berbagai macam hal terkait
pekerjaan, hingga melebar ke topik-topik yang sedang viral. Cukup menyenangkan.
Aku suka cara tertawanya, aku juga suka cara ia memperlakukanku dengan sopan
dan hormat. Beberapa kali ia membawakanku buah tangan, dan beberpa kali
mengirimiku makanan lewat aplikasi onlen. Aku tersanjung dan merasa disayang.
Lelaki itu, biasa dipanggil dengan nama pak Ali. Suatu hari, magku kambuh.
Teman kantorku membawaku ke klinik dan rupanya agak parah sehingga harus
dirujuk ke Rumah Sakit untuk dirawat.
Pak
Ali menyempatkan datang dan sekaligus menjamin biaya perobatanku. Aku tak bisa
menolak kebaikannya karena memang kondisi keuanganku sedang kurang stabil. Aku
tahu pak Ali serius memintaku menjadi istrinya namun aku belum siap. Dengan
sabar pak Ali menunggu keputusanku sambil terus melakukan kebaikan-kebaikan
selanjutnya.
Bulan
Ramadhan begini kadang aku bekerja lembur sampai malam. Pekerjaan memang sedang
menumpuk. Semakin mendekati lebaran, semakin banyak pekerjaan. Dua kawanku
telah mengambil cuti. Mereka hendak mudik bersama keluarga masing-masing. Aku
yang memang single mualaf, tidak kemana-mana saat lebaran nanti, dengan senang
hati menerima perintah boss untuk lembur hingga dua hari jelang lebaran. Selain
agar menerima tambahan upah lembur, aku memang lebih senang menghabiskan
waktuku di kantor ekspedisi ini. Setidaknya di kantor aku tidak merasa sendiri
di saat jelang lebaran begini.
“Bu Titi
belum mau pulang? “ Tanya office boy malam itu. Kujawab dengan gamang,
antara menggeleng dan mengangguk.
“Sudah
malam Bu, kalau kita ikuti kantor ini selalu ramai, konsumen inginnya paket
mereka lekas nyampai dan kita tidak akan sempat istirahat. Kurir kita juga
mulai malam ini sudah libur lho Bu, jadi mulai besok kita harus menutup kantor”.
Ya, aku harus pulang ke rumah malam ini, dan besok libur. Jalanan Jakarta
menyuguhkan keriuhan seperti biasa. Kereta listrik tetap saja dipenuhi
wajah-wajah lelah. Badut dan pengamen semakin banyak saja bersaing jumlahnya
dengan polisi cepek yang makin membuat macet kota. Entah mengapa, baru tahun
ini hatiku pengap oleh suasana lebaran.
Tidak
sebagaimana kaum muslim lainnya yang menyambut lebaran ini dengan sukacita, hatiku
malah ingin berlama-lama dengan Ramadhan.
Kucoba
menghubungi teman-temanku yang kuperkirakan bisa menemani saat takbir
berkumandang besok malam. Aku perlu seseorang di sampingku ketika Ramadhan
pergi. Hanya untuk menggantikan suasana sayu sepi di saat orang di luar sana
berkumpul dengan keluarganya. Namun nihil. Hampir semua temanku sudah berada di
luar kota bersama keluarganya. Ada yang tetap di rumahnya, tapi di rumahnya
ramai oleh para sanak famili. Air mataku mulai menggenang. Ini lebaran kesekian
tanpa siapa-siapa setelah kematian suami dan mertua. Masih ada ipar dan ponakan
suami, tapi setelah aku tinggal di luar pulau begini, mereka makin tampak jauh
saja.
Aroma
kue kering dari arah belakang rumah meruap di udara. Aku makin sedih teringat
semua peristiwa kelam di masa silam. Aku hendak kemana besok pagi setelah
sholat Ied? Rasanya malu berjalan seorang diri mendatangi tetangga yang lama
tak bersapa. Aku baru sadar, kesibukanku selama ini hanya menyisakan sedikit pertemanan,
selebihnya hanya kolega dan mitra kerja yang tak perlu berakrab-akrab diluar
soal pekerjaan. Satu-satunya harapanku adalah pak Ali. Setelah beberapa kali
telponnya tak kujawab hari itu dan pesan singkatnya tak kurespon karena
kesibukanku, semoga hari ini ia masih memaafkanku. Bila perlu, aku akan segera
memutuskan untuk mau saja ia nikahi, toh aku tak punya calon lain.
Kukirim
ucapan selamat lebaran untuk pak Ali dengan kalimat indah yang kupunya. Semenit
dua menit, sejam dua jam, hingga sore bahkan lepas magrib ucapan itu belum
dibalasnya. Aku menunggu. Ah, aku menunggu dengan malu sekaligus penasaran.
Kuberanikan diri memencet tombol panggilan beberapa detik, miscall. Tak ada
juga balasan. Hingga takbir menggema di seluruh penjuru dunia, aku masih saja
sendiri di sudut rumah penuh linglung. Aku sadar, semua orang sedang sibuk
bersama keluarganya di jelang hari raya ini. Dan aku sadar tak sebijipun
ketupat di meja makanku, apalagi opor ayam. Malam sudah pekat. Gerimis menerpa
jendela, hanya ada bayangan pawai obor di kejauhan sana. Riuh suara takbir
menjadi sunyi paling mencekam di dadaku. Kupeluk mimi, kucing kesayanganku
seerat mungkin sambil mengusap air mata. Notifikasi di handphone silih
berganti dari teman dan kolega mengucapkan selamat hari raya tanpa mengetahui apa
yang sebenarnya kurasakan.
Sekelebat,
lagi-lagi aroma kue kering dan opor ayam menusuk hidungku, entah dari mana
datangnya. Aku sudah pasrah dengan ini semua. Seumpama matador, aku telah
tersungkur di bawah kaki banteng yang kuciptakan sendiri.
Tok
tok tok! Suara ketukan di pintu. Antara percaya dan tidak, kubuka pintu depan
dengan hati-hati. Tetanggaku datang membawa nampan bertudung saji.
“Kak
Titi, ini ada sedikit masakan dan kue kering, selamat Idul Fitri ya kak, maaf
lahir bathin” Bu Salma menyerahkan nampan itu dengan buru-buru.
“Terimak
asih, bu Salma. Oya, besok Lebaran di mana? Saya ikut ya?” Ujarku spontan
Seolah
bola salju jatuh dari ketinggian tertentu yang meluncur tak terkendali, aku
mengajukan permohonan yang sama sekali tak kurencanakan.
“Sama-sama
kak Titi. Besok setelah sholat Ied kami pergi ke rumah keluarga di Bekasi”.
“Bolehkah
saya menjadi keluarga bu Salma? “tanpa malu aku bertanya
“Kak Titi sendirian lagi ya? Bolehlah kalau
mau ikut dengan kami”.
Bu
Salma memelukku erat.
Sebuah
angin surga kurasakan mengaliri seluruh pembuluh darahku. Alhamdulillah,bisikku
perlahan.
Aku hanya tak ingin setelah sholat Ied, terkurung di rumah dengan rasa dan suasana yang tajam, pilu dan beku.
Shantined, April 2023
Shantined. Penyair dan cerpenis kelahiran Jogjakarta, yg lama tinggal di Balikpapan & Bontang Kaltim dan saat ini bermukim di Depok Jawa Barat. Beberapa karyanya dimuat di Horison, Kedaulatan Rakyat, Republika, Tribun Kaltim, Kaltim Post dll, juga puluhan buku antologi puisi dan cerpen bersama. Menghadiri beberapa acara sastra di berbagai kota Indonesia. Menjadi pengisi materi beberapa pelatihan sastra, dan juri berbagai lomba sastra tingkat kota dan provinsi. Pecinta gerimis. Penyuka kopi. Email shantined2003@yahoo.com