Nasib Puisi Emi Suy - Djoko Saryono - Jagat Sastra Milenia

JSM News

Nasib Puisi Emi Suy - Djoko Saryono

Nasib Puisi Emi Suy - Djoko Saryono

NASIB PUISI EMI SUY

Djoko Saryono

 


Pada saya, kumpu (kumpulan puisi) Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami karya Emi Suy ini benar-benar menemui kemalangan sekaligus keberuntungannya sendiri. Meski telah saya terima dan mulai baca sebulan lalu, kumpu tersebut tak pernah saya selesaikan baca. Entah mengapa saya tak juga dapat membaca (kembali) secara tuntas dalam satu kesatuan waktu atau sekali duduk walau bukunya terbilang tipis dan puisi di dalamnya pendek-pendek.

 

Tapi, kumpu tersebut bukan berarti saya lupakan dan tinggalkan di tumpukan buku. Justru tak pernah keluar dari tas ransel yang selalu saya bawa kemana-mana: antartempat, bahkan antarkota. Kalau tak salah hitung, kumpu Emi Suy itu terbawa bepergian sampai ke tujuh kota, mulai Surabaya, Jakarta, Padang, Bukittinggi, Tanah Datar sampai Gili Trawangan dan Mataram. Saat ke Mataram menemani istri, saya berusaha menuntaskan baca buku kumpu Emi Suy. Secara tak terancana, ndilalah kersaning Allah, istri juga membawakan saya kaos bergambar kover kumpu Emi Suy tersebut. Maka terjadilah saya menyelesaikan baca karya Emi Suy di Hotel Merumetta Senggigi saat bersama istri.

 

Sependek ingatan saya, kumpu Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia ini adalah antologi tunggal Emi Suy yang kelima. Namun, pada dasarnya proyek kedua kepenyairan Emi Suy. Kumpu Ibu Menanak Nasi tampak merupakan proyek eksplorasi kecintaan dan kekasihsayangan humanistis dan altruistik dalam kehidupan keseharian. Empat kumpu sebelumnya merupakan proyek ekskavasi atau arkeologi kesunyian (dalam arti silenceness, bukan loneliness) dalam lanskap kehidupan manusia dan dunia-kehidupan manusia.

 

Kendati berbeda, bahkan berbeda lahiriah dan batiniah puisinya, kelima antologi tunggal Emi memiliki pautan spirit dasar yang sama atau minimal saling menunjang. Dalam kaitan ini spirit untuk menjaring ilham dan tema keseharian atau peristiwa akrab-dekat-lekat yang oleh Emi diolah sedemikian rupa menjadi sumbu peri hidup insani, yaitu altruisme kehidupan di dalam berbagai perubahan cuaca kehidupan yang selalu menggentarkan sekaligus memukau. Di samping itu, kelima kumpu Emi senantiasa memainkan hubungan-hubungan asosiatif atau asosiasi-asosiasi dua hal atau lebih yang menghasilkan semburat makna. Kumpu Ibu Menanak Nasi malah pada dasarnya merupakan permainan hubungan asosiatif atau asosiasi-asosiasi yang penuh kelebat atau kilatan makna baru, yang renyak dan enak menjelma jadi aforisma populer.

 

Dalam Ibu Menanak Nasi ini Emi Suy berhasil menghancurkan, membongkar, dan mempreteli kepastian dan kebekuan linguistis terutama sintaktis dan semantis bahasa Indonesia. Kemudian dia memasang, merangkai, dan mengomposisi kembali leksikon-leksikon dan frasa-frasa, bahkan larik-larik ke dalam kebaruan dan kesegaran sintaksis dan semantik bahasa Indonesia yang bertenaga. Di antara gerak mempreteli dan mengomposisi kembali itu dia berusaha keras membersihkan denotasi dan metatora-mati bahasa Indonesia yang  memfosil dan klise, lalu membilasnya dengan figurasi bahasa Indonesia yang terasa baru, segar, dan menotok kepala.

 

Di situ malah Emi membiarkan matra semantis tetap terbuka, tak ternyana, penuh kemungkinan, dan padat kemenduan -- konotasi dan metatora dibiarliarkan dalam puisi, misalnya //perempuan memang harus pandai menjahit/setidaknya menjahit lukanya sendiri// Walhasil secara keseluruhan 43 puisi pendek-pendek dalam Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami ini terasa memamerkan kelincahan, kegesitan, dan kefasihan mem(per)mainkan bahasa Indonesia.

 

Berkat hal itulah puisi-puisi di sini terasa sangat simbolis di samping lebat kontras dan paradoks, bahkan kontradiksi. Suspens-suspens puitis begitu bertebaran di dalam 43 puisi di antologi. Renungkan, bukankah 43 puisi di antologi ini paralel dengan umur Emi sekarang? Terkait hal ini, bukankah judul antologi menjadi metaforis, yang hendak mengatakan kematangan diri Emi pada umur empat puluhan? Memang, antologi ini amat kaya metafora dan kemungkinan terbuka sekalipun diksi-diksinya umum dan populer. Membacanya bak menyusuri lebat rimba pengucapan puitis yang menyenangkan. Saya bukan cuma terhibur, terhenyak, dan terpana, tapi juga tersuapi makna kasih sayang altruistik.

 

Disclaimer: Images, articles or videos that exist on the web sometimes come from various sources of other media. Copyright is fully owned by the source. If there is a problem with this matter, you can contact