Emi Suy, Kukusan, dan Kembang Api - Tatan Daniel - Jagat Sastra Milenia

JSM News

Emi Suy, Kukusan, dan Kembang Api - Tatan Daniel

Emi Suy, Kukusan, dan Kembang Api - Tatan Daniel

 EMI SUY, KUKUSAN, DAN KEMBANG API

Tatan Daniel



Ternyata, stasiun Pondok Jati hanya sepelontaran batu katapel dari Balai Pustaka. Tak lama berjalan kaki dan menunggu kereta dari Kemayoran, saya sudah terduduk di gerbong yang longgar. Di Manggarai, senja turun. Dan saya mengambil kereta ke Bekasi. 


*** 


Di Kafe Sastra Balai Pustaka, sore itu, sebuah acara baru usai digelar. Peluncuran buku puisi sahabat saya, Emi Suy: "Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami." Buku puisi dengan tampilan yang manis, yang berumah di sebuah 'cangkang' hitam yang nyaman, bertuliskan nama sang penyair, semacam logo, berwarna perak.


Ini buku puisi kelima Emi. Setelah satu buku tentang api, dan tiga buku tentang sunyi. Pencapaian, yang berdasarkan gelombang pola yang diamati oleh Da Riri Satria, mewakili fase 3.0 Emi. Fase 'pelebaran sayap', begitu ahli komputer, pakar manajemen cum penyair itu berkesimpulan. 


Ya. Pencapaian setelah lebih sepuluh tahun. Artinya, Emi tidak berjalan di tempat. Ia, seperti Harumi Murakami dalam versi lain: menulis sambil 'berlari'. Meski relatif, sepuluh tahun bukanlah waktu yang panjang. Sebagian penyair malah butuh waktu berpuluh tahun untuk menjadi matang. 


Bagi Emi Suy sendiri, dibutuhkan sejumlah "kukusan" dalam pawon kontemplasi, untuk menanak kesunyian, kesedihan, dan kegembiraannya. Agar, bukan hanya usia saja yang matang, tapi juga bulir-bulir pikiran dan renungan. Dan seorang ibu ada di sana. Rumah tempat pulang dari penat atau risau. Saya tercenung menyimak uraiannya yang jernih, sarat kenangan, dan perjalanan dengan banyak persinggahan. 


Itulah alasan saya berusaha datang ke acara yang ditaja oleh Jagat Sastra Milenial, yang dihadiri oleh para penyair: Kurnia Effendi, Ireng Halimun, Eddy Pramduane, Nunung Noor El Niel, Humam S. Chudori, Yahya Andi Saputra, Dyah Kencono Puspito Dewi, Dhe Sundayana Perbangsa, dan lainnya. 


Itulah makanya saya setuju dengan Ananda Sukarlan. Bahwa menurut sang pianis hebat itu, yang pertama kali ia temukan dari puisi Emi adalah bunyi. Akord. Melodi yang terstruktur.


Dan saya terpesona, ketika puisi Emi yang indah tentang "Malam", menjadi sebuah komposisi lagu berdurasi 1 menit 56 detik dengan tempo moderato melancolico yang menggetarkan, yang disusun oleh Ananda, dan dilantunkan dengan sepenuh penghayatan oleh solis tenor Nikodemus Lukas; diiringi denting piano Ananda yang menggemericik mengalir seakan mata air mata. Lihatlah video ini: https://youtu.be/TFbw-86axTs  


Puisi itu tiba-tiba hidup, dan bercerita dengan impresi yang menyentuh hati. Seperti seorang perempuan yang bercerita dalam lukisan romantik S. Soedjojono "Di depan Kelambu Terbuka", yang tengah duduk di tepi ranjang, di sisi jendela lebar dan meninjau ke lanskap malam yang dalam, dan tenggelam dalam lautan cinta. 


Ah, saya jadi teringat lagu tema sebuah film Al Pacino, "Sea of Love". Film lama, yang saya tonton dengan berdebar, 30-an tahun yang lalu. 


    MALAM 

    aku tak pernah mengukur

    suara dengkur

    yang terlanjur karib 

    malamku sedalam sumur

    yang kerap kita timba

    demi mata air mata yang sama 

    betapa dadamu adalah

    laut paling dalam

    aku menenggelamkan seluruh

    malam 


Tapi saya tak hanya menemukan yang musikal di sana. 

Emi adalah fotografer. Saya mengamati beberapa karya fotonya, yang dipajang di beberapa panel. Gambar-gambar dari sudut sunyi keriuhan jalanan. Seorang perempuan yang terduduk di trotoar jalan ke pelabuhan lama. Perempuan berdiam dalam gerobak. Perempuan yang tegak memundak beban. Para ibu yang berjuang, yang kuat, yang menjalani hidup apa adanya. Karena "urip iku kudu urup". Harus bernyala!


Segera saya menemukan benang merah yang halus, lembut, tapi kuat terentang antara momen puitik yang menguar dari potret-potret itu, dengan sejumlah puisi di dalam bukunya. Semacam ode, penghormatan pada sosok ibu. Ibu yang ia ceritakan dengan suara bergetar dan tenggorokan tercekat: "Saya tak bisa melupakan perjuangan ibu saya. Ibu yang memikul sayur-mayur dari pasar Magetan. Ubi, kentang, dan sebagainya. Setiap pagi. Untuk dijual kembali. Dengan ayah yang tiada, sejak saya berusia tiga tahun..." 


Saya selalu merasakan bahwa di dalam karya seni rupa, termasuk fotografi, terkandung momen puitik. Bahkan tidak hanya sekelebat momen, tapi juga serangkaian cerita. Saya  menyebutnya sebagai 'puisi tanpa kata'. 


Emi dengan kepekaannya menangkap garis, warna, cahaya, sudut pandang, komposisi, geliat dan bayangan itu, kemudian menjadikannya bahan racikan; yang setelah melewati tapisan demi tapisan renungan, racikan itu menyublim menjadi puisi yang imajis. Tidak sepenuhnya terang, tidak pula sepenuhnya gelap. Puisi beberapa baris, ringkas, tapi tidak memadat. 


Saya tak ingin menyebutnya padat, seakan sesuatu yang liat, atau keras kaku pedat. Puisi ringkasnya itu lebih terasa sebagai gumpalan kenyal yang berisi butir-butir halus 'bubuk mesiu'. Segera terurai jika tersulut. 


Dan demikianlah, saya menemukan sumbu ledak pada setiap baris akhir dari puisinya. Hampir di semua puisi. Baris yang mengejutkan, yang mengunci, yang membakar. Seperti bunyi "klik" pada picu pistol. Atau bunyi "cetrek!" pada tombol rana kamera. 


Atau seperti momen orgasmus, klimaks, setelah pergulatan pada suasana, tekanan yang mendesak-melesak, pergumulan yang panas dengan banyak persoalan hidup. Atau seperti seuntai sumbu pada tabung kembang api, yang menyala lalu meletup dan berpijar warna-warni di langit malam yang biru gelap, dengan latar bintang-bintang dan galaksi. 


Saya pikir, Emi telah menemukan 'sesuatu' yang menjadi ke-Emi-annya. Cara ungkap yang khas, karena ia bukan Jokpin, bukan Sapardi, bukan pula Sutardji. Ia adalah perempuan di antara sedikit perempuan penyair, yang bersungguh-sungguh, menuliskan pemikiran dan perasaannya. Keras hati memilih sudut pandang, dan tahu kapan saat mengambil keputusan untuk menekan dan melepas tombol rana, untuk 'membekukan', membuat abadi, yang bergerak, yang berkelebat, yang melintas-lintas. Sambil 'berlari' seperti Murakami. 


Saya menduga ia adalah ibu, yang selalu tidur di larut malam. Yang menunda untuk mengarungi mimpi, karena ada banyak imaji yang berkejaran di dasar ingatannya, yang harus dijinakkan. Jawaban dan pernyataannya atas pertanyaan Ewith Bahar yang memandu sesi diskusi, menebalkan dugaan saya itu. 


*** 


Kemarin, Emi berulang tahun keempatpuluh tiga. Di Kafe Sastra itu, sayup-sayup saya sempat mendengar lagu ulang tahun dipersembahkan oleh para sahabatnya, ketika saya baru melangkah memasuki gerbang Balai Pustaka. 


Masih ada sepuluh-dua puluh tahun lagi waktu bagi Emi untuk melahirkan sejumlah puisi dan buku-buku. Mengikut jejak Toeti Heraty, Rayani Sriwidodo Rayani, para penyair di generasi sebelumnya. Kemarin ia telah memberi garis bawah berwarna merah. Jelas. Menjanjikan. 


*** 


Sebelum senja, saya berjalan kaki ke stasiun Pondok Jati. Sambil menenteng tiga jilid buku: dari Emi, dari sahabat saya Nanang R Supriyatin, dan dari engku guru Riri Satria. Dengan denting gitar dan suara lembut mengharukan Rinidiyanti Ayahbi menyanyikan puisi, masih bergema di kepala saya. Kebahagiaan kecil yang menyenangkan. Seperti ujar sahabat saya Ireng Halimun, perupa dan penyastra, yang suka blusukan, mengembara, siang malam ke berbagai komunitas rupa, sastra, musik, teater, bahwa "Silaturahmi seni itu menyehatkan!"  Tentu saja, saya bersepakat dengannya.


Disclaimer: Images, articles or videos that exist on the web sometimes come from various sources of other media. Copyright is fully owned by the source. If there is a problem with this matter, you can contact