EMI SUY 3.0: SEBUAH PERJALANAN PUITIS KEPENYAIRAN
“Saya pikir, Emi
telah menemukan 'sesuatu' yang menjadi ke-Emi-annya. Cara ungkap yang khas,
karena ia bukan Jokpin, bukan Sapardi, bukan pula Sutardji. Ia adalah perempuan
di antara sedikit perempuan penyair, yang bersungguh-sungguh, menuliskan
pemikiran dan perasaannya. Keras hati memilih sudut pandang, dan tahu kapan
saat mengambil keputusan untuk menekan dan melepas tombol rana, untuk
'membekukan', membuat abadi, yang bergerak, yang berkelebat, yang
melintas-lintas. Sambil 'berlari' seperti Murakami.”, demikian penulis Tatan
Daniel menuliskan catatannya untuk penyair Emi Suy.
Hal itu
disampaikannya pada acara peluncuran buku puisi Emi Suy yang kelima berjudul
Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami, di Kafe Sastra Balai Pustaka,
Jakarta, (6/2/2022). Acara yang
dilaksanakan dengan hadirin yang terbatas itu tidak mengurangi kemeriahannya
sekaligus ajang silaturahmi para penyair, walaupun panitia menerapkan protokol
kesehatan yang berlaku sesuai peraturan pemerintah. Terlihat hadir Kurnia
Effendi, Tatan Daniel, Ireng Halimun, Eddy Pramduane, Nunung Noor El Niel,
Humam S. Chudori, Yahya Andi Saputra, Dyah Kencono Puspito Dewi, Rissa Churria,
Wig SM, dan lainnya.
Sebelumnya Emi sudah membuat empat buku
kumpulan puisi tunggal, yaitu Tirakat Padam Api (2011), serta trilogi Sunyi
yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), serta Api Sunyi (2020).
Keberadaan buku puisi “Trilogi Sunyi” tersebut membuat sebutan “penyair sunyi”
melekat kepada Emi.
Menanggapi sebutan “penyair sunyi” ini, Emi
menjelaskan, “Bagi saya sunyi itu inti, di mana kita berasal dan kembali. Dalam
Sunyi saya merasa segalanya menjadi terbuka, arah, jalan, pesan bahkan tujuan.
Maka sunyi menjadi sumber penciptaan bagi saya dengan menggali berbagai makna
sunyi itu sendiri. Bagi saya sunyi itu mempunyai esensi tersendiri. Sebagai
perempuan, melalui sunyi saya menziarahi labirin diri saya sendiri. Sebab
hari-hari terlalu riuh, terkadang penat, lelah mendera setelah seharian jungkir
balik menembus waktu, tenggelam oleh rutinitas yang mau tidak mau telah
mendikte hari-hari saya. Maka melalui sunyi saya menemukan kemewahan, healing,
kekuatan, saya membutuhkan sunyi lantas tersesat di dalamnya dan melahirkan
karya sunyi yang berbunyi. Bahwa sunyi yang gaduh yang berisik dan bising.”
Masih terkait
sebutan “penyair sunyi” ini, Penyair Nanang R. Supriyatin memberikan catatan, “Kesunyian
seorang Emi Suy dapat saya rasakan ketika ia memotret sesuatu yang menurutnya
terkesan ekspresif, yang kemudian hasil potretannya itu disimpan dan dipamerkan
saat launching. Ini juga bagian yang menarik. Karena ada semacam
kolaborasi antara permainkan kamera dengan permainan kata-kata. Apalagi,
diperkuat dengan kegiatan sosialnya diluar keseriusannya sebagai fotografer dan
seorang penyair. Analogi saya mengatakan, perekaman serta pengabadian pada
sebuah lanskap sebagai proses awal menulis puisi, tentulah akan jauh lebih
indah daripada bercermin-cermin dalam kamar.”
“Analogi adalah
proses penalaran berdasarkan pengamatan terhadap gejala khusus dengan
membandingkan atau mengumpamakan suatu objek yang sudah teridentifikasi secara
jelas terhadap objek yang dianalogikan sampai dengan kesimpulan yang berlaku
umum, dan di sinilah letak kelebihan seorang Emi Suy”, demikian lanjut Nanang.
Pada acara ini
juga dilaksanakan diskusi dengan panelis Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia,
pimpinan Sastramedia, serta pengamat ekonomi digital dan kreatif, Riri Satria,
serta penyair Emi Suy. Seharusnya Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum
Bachri juga berada di jajaran panelis untuk membahas buku puisi Emi Suy ini,
namun dia harus menjalani isolasi mandiri karena terkena Covid-19.
Demikian pula
pianis dan komposer dan Ananda Sukarlan, tidak dapat hadir sebagai panelis,
namun mengirimkan video ulasannya mengenai Emi Suy dan puisinya yang menurutnya
sangat musikal. Pada video tersebut juga ditampilkan penyanyi tenor Nikodemus
Lukas yang menyanyikan puisi Emi berjudul “Malam” diiringi oleh dentingan piano
Anda Sukarlan yang apik.
Lalu apa yang menjadi ciri khas buku puisi Emi
yang kelima ini? Emi menjelaskan, “Buku puisi ini saya persembahkan untuk Ibu
saya. Apapun yang dilakukan Ibu, di mata saya Ibu adalah pahlawan, Ibu yang
berusaha memberikan terbaik untuk anak-anaknya. Kalaulah saya belum mampu
membahagiakan Ibu, mungkin lewat sajak-sajak ini saya ingin mengungkapkan rasa
cinta yang dalam pada Ibu. Saya ingin memberi hadiah kepada Ibu. Setidaknya
sejarah dan waktulah yang akan mencatatnya.
Cintaku, Ibu engkaulah tuhan kecil, swargo katon dalam hidup saya.”
“Selain sajak-sajak persembahan untuk Ibu,
melalui buku sajak ini saya ingin mencatat perenungan dan permenungan dalam
hidup saya tentang segalanya hingga hari ini. Rasa syukur yang mendalam. Terima
kasih Allah, Terima kasih Ibu.”, demikian lanjut Emi dalam pidato ucapan terima
kasihnya.
Terkait dengan topik Ibu ini, kembali Tatan
Daniel menjelaskan, “Emi adalah fotografer. Saya mengamati beberapa karya
fotonya, yang dipajang di beberapa panel. Gambar-gambar dari sudut sunyi
keriuhan jalanan. Seorang perempuan yang terduduk di trotoar jalan ke pelabuhan
lama. Perempuan berdiam dalam gerobak. Perempuan yang tegak memundak beban.
Para ibu yang berjuang, yang kuat, yang menjalani hidup apa adanya. Karena ‘urip
iku kudu urup’ atau hidup harus bernyala! Segera saya menemukan benang merah
yang halus, lembut, tapi kuat terentang antara momen puitik yang menguar dari
potret-potret itu, dengan sejumlah puisi di dalam bukunya. Semacam ode atau penghormatan
pada sosok ibu. Itulah proses puitik seorang Emi Suy.”
Sementara itu terkait
dengan perjalanan kepenyairan Emi Suy, presenter serta penulis Ewith Bahar yang
pada acara peluncuran buku puisi Emi Suy tersebut menjadi moderator diskusi
menyampaikan, “Respek saya terhadap Emi, karena ia merupakan penyair yang
berani menempuh proses, sabar terhadap lika-liku pertumbuhannya berkaryanya
melalui belajar yang tak henti, permenungan yang terus menerus dari dinamika
dan romantika hidup yang ia jalani dan alami. Ini semua memberi kontribusi pada
pertumbuhannya sebagai penyair. Sehingga Emi jauh dari sebutan penyair instan
atau penyair dadakan. Dari hasil pembelajaran, ia menulis puisi dengan gaya
ungkapnya sendiri, memilih kalimat-kalimat, analogi, maupun metafora yang tidak
mengekor penyair lainnya.”
Masih tentang
perjalanan kepenyairan Emi, Ketua Jagat Sastra Milenia dan Pimpinan
Sastramedia.com, Riri Satria, mengungkapkan, “Saya mengenal Emi Suy sudah lama,
semenjak tahun 2011, namun mengenal lebih dekat sejak tahun 2015 sampai
sekarang. Dalam kurun waktu lebih dari
10 tahun itu semenjak tahun 2011, saya mengamati dan melalui berbagai dialog
serta obrolan dengan Emi, saya menyimpulkan bahwa saat ini Emi sedang memasuki
gelombang ketiga dalam perjalanan kepenyairannya atau saya sebut Emi Suy 3.0. Gelombang
satu adalah fase mencari jati diri sampai dengan 2015, gelombang kedua adalah
fase tinggal landas pada tahun 2016-2020, serta gelombang ketiga mengembangkan
dan melebarkan sayap, dimulai tahun 2021 yang lalu sampai sekarang.”
“Emi selalu
mendapatkan momentum kuat pada gelombang pertama dan kedua. Saya mengamati
bahwa Emi adalah sosok pembelajar yang baik dalam proses kepenyairannya, dan
mencatat berbagai kemajuan dalam setiap gelombang yang dilewatinya. Dalam
berbagai kesempatan ngobrol santai sambil menikmati kopi sore dengan Emi, dia
selalu mengatakan bahwa ini adalah sebuah karunia Tuhan yang luar biasa
kepadanya dan selalu dia syukuri. Ya, menurut saya Emi banyak memiliki tacit
knowledge ketimbang explicit knowledge dalam berpuisi dan proses kepenyairannya.
Saya sering mengatakan kepada Emi, you are poetic street smart, Emi.” demikian
lanjut Riri dalam penjelasannya.
Emi Suy lahir di
Magetan, Jawa Timur, 2 Februari 1979 dengan nama Emi Suyanti adalah salah
seorang pendiri dan pengurus komunitas Jagat Sastra Milenia serta sekretaris
sekaligus anggota dewan redaksi Sastramedia.com. Selain itu, Emi adalah seorang
aktivis sosial serta lingkungan hidup, dan salah seorang pendiri komunitas
Jejak Langkah yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan.
Prestasinya
dalam dunia kepenyairan adalah, buku puisi Ayat Sunyi terpilih menjadi Juara
Harapan III Buku Terbaik Perpustakaan Nasional RI Kategori Buku Puisi tahun
2019, sedangkan buku Api Sunyi masuk nominasi 25 besar Sayembara Buku Puisi
yang diselenggarakan Yayasan Hari Puisi Indonesia tahun 2020.
Seorang sahabat
Emi dari Indonesian Hidden Heritage, Nofa Farida Lestari, memberikan
apresiasinya, “I personally think Emi's poetry's strength lies in her humanity
touch for every themes, which present a warmth nostalgic feeling, intertwined
in its simplicity, beautiful yet powerful lines.”
Ya, itulah
kelebihan Emi Suy, menjelaskan sebuah perjalanan panjang dan kompleksitas
kehidupan dengan puisi-puisi pendek, namun tajam, dan penuh daya gugah.
Selamat untuk Emi
Suy!