Kecerdasan Buatan, Kecerdasan Hakiki, serta Kemanusiaan
Sebuah Catatan Akhir Tahun 2021 untuk Riri Satria
Saya menyimak kembali presentasi Riri Satria
tentang perkembangan teknologi digital dan siber dalam masyarakat cerdas 5.0
serta kaitannya dengan dunia perpuisian dan kepenyairan, pada acara Seminar
Perayaan Puncak Hari Puisi Indonesia 2021, bulan November 2021 yang lalu di TIM. Sudah beberapa kali saya mendengar penjelasan Bang Riri mengenai topik ini.
Ya, boleh dibilang sering, baik dalam suasana resmi seperti seminar maupun
dalam suasana santai sambil menikmati kopi sore, serta tulisan-tulisan Bang
Riri tentang topik ini yang bertebaran di media sosial.
Banyak yang mengasosiasikan Bang Riri dengan
teknologi, matematika, dan sebagainya, pokoknya dunia yang tanpa perasaan. Itu
tidaklah salah karena memang latar belakang pendidikan dan profesi beliau di
bidang itu. Namun mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Bang Riri juga menaruh
perhatian kepada persoalan-persoalan kemanusiaan sebagai dampak dari
perkembangan teknologi.
Bang Riri sering menyitir pernyataan John Naisbitt,
seorang futurology, yaitu pentingnya high tech and high touch. Teknologi tinggi
(high tech) mesti diimbangi dengan sentuhan manusiawi yang tinggi pula (high
touch). Bang Riri itu suka memberi buku kepada para sahabatnya, dan pernah memberi saya enam buku tulisan ahli
filsafat Erich Fromm. Sungguh bacaan berat dan mesti dibaca perlahan-lahan.
Demikian pula syaikh Sofyan RH. Zaid, diberi buku filsafat tentang sains dan
puisi karya Ridgley serta prinsip-prinsip metafora karya Ricoeur. Bang Riri
juga betah berjam-jam berada di toko buku dan banyak membeli buku-buku tentang
filsafat, sosial kemasyarakatan, serta kemanusiaan, di samping buku-buku
tentang sains, teknologi, dan ekonomi. Ini menunjukkan perhatian Bang Riri
kepada topik filsafat, sosial kemasyarakatan, serta kemanusiaan.
Saya pikir, dengan kondisi demikian tentu Bang Riri
juga menaruh perhatian kepada aspek-aspek kemanusiaan dalam menyikapi
perkembangan teknologi, karena saya yakin bahan bacaannya cukup banyak tentang
hal itu. Artinya, kita tidak bisa memandang teknologi hanya sebatas teknologi,
namun juga aspek-aspek kemanusiaan dari teknologi tersebut.
Saya masih ingat pada acara Seminar Perayaan Puncak
Hari Puisi Indonesia 2021 yang lalu, Bang Riri menjelaskan dampak perkembangan
teknologi digital dan siber terhadap dunia perpuisian dan kepenyairan, ditambah
dengan penjelasan Prof. Teddy Mantoro tentang bagaimana algoritma kecerdasan
buatan pada teknologi digital mampu membuat puisi sendiri. Komputer sudah mampu
membuat puisi. Ini kenyataan, yang tentunya terlepas dari soal mutu puisinya.
Menjelang akhir tahun 2021 ini, izinkan saya
memberikan sebuah catatan kepada Bang Riri. Mungkin sudah saatnya Bang Riri
banyak mengulas aspek-aspek kemanusiaan, sosial kemasyarakatan, terkait dengan
dampak perkembangan teknologi digital dan siber dalam dunia perpuisian dan
kepenyairan.
Di samping menjelaskan perkembangan terkini, Bang
Riri sudah harus mulai menjelaskan lalu bagaimana kita sebagai manusia untuk
tetap mempertahankan kemanusiaan kita? Bagaimana kita menjaga kecerdasan
hakiki, termasuk kecerdasan puitika, agar tidak digilas oleh kecerdasan buatan.
Saya ingat pernyataan Kak Fanny Jonathans pada
acara seminar tersebut, yang mengungkapkan akan terjadinya alienasi kemanusiaan
oleh perkembangan teknologi. Tentu ini suatu keprihatinan yang wajar.
Bang Riri Satria bisa menebarkan rasa optimis
kepada para penyair bahwa kita manusia memiliki kecerdasan hakiki yang tidak
bisa ditandingi oleh kecerdasan buatan, yaitu adalah rasa kemanusiaan. Ini yang
tidak ada di dalam ranah teknologi digital. Saya percaya kecerdasan hakiki manusia tidak dapat ditandingi oleh
kecerdasan BUATAN.
Jakarta, Desember 2021