Sebuah Dialog Pagi tentang Puisi - Riri Satria - Jagat Sastra Milenia

JSM News

Sebuah Dialog Pagi tentang Puisi - Riri Satria

Sebuah Dialog Pagi tentang Puisi - Riri Satria

SEBUAH DIALOG PAGI TENTANG PUISI

Riri Satria



Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) ikut memperingati Hari Puisi Dunia atau World Poetry Day pada tanggal 21 Maret 2021 dengan mengadakan acara Ngopi Pagi dan Puisi, di Cafe Cerita, Jakarta Timur.  Pada acara tersebut, Riri Satria membacakan buku puisi "Winter in Paris", yang merupakan buku puisinya yang kedua, diterbitkan pada tahun 2017. Buku ini diluncurkan pada Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017, di Museum Lukisan Antonio Blancio, Ubud, Bali. 


Semua puisi pada buku tersebut ditulis aslinya dalam Bahasa Inggris selama musim dingin (winter) di Paris, Prancis, tahun 2016, plus beberapa puisi tambahan yang saya tulis di berbagai kota lainnya, seperti Yerusalem dan Bangkok. 


Di samping membacakan puisi, Riri juga menjelaskan proses kreatif di balik "Winter in Paris", bagaimana Riri memandang puisi, peranan puisi dalam menjaga peradaban, serta bagaimana saya berada di dunia bisnis. akademik, dan puisi. Acara diskusi dan dialog ini dipandu oleh penyair Emi Suy.


Berikut adalah petikan dialog yang terjadi.


Emi: Apa peran puisi dalam kehidupan seorang Riri Satria?


Riri: Puisi adalah salah satu cara saya untuk menyeimbangkan kehidupan saya yang sarat dengan teknologi, ekonomi, penelitian, dsb, yang penuh dengan rasionalitas terukur, angka-angka, rumus-rumus, analisis, dsb.  Puisi membawa saya untuk menyadari banyak fakta-fakta tak terlihat kasat mata, suara-suara tak terdengar, melakukan dialog batin dengan diri sendiri, membiarkan imajinasi berkelana ke mana saja, dan tentu saja mencoba untuk memahami kehidupan dengan lebih baik. 


Emi: Sejak kapan Bang Riri menulis puisi?


Riri: Sejak sekolah di SMP dulu sekitar tahun 1984, berlanjut ke SMA. Namun begitu mulai kuliah di UI tahun 1988, semuanya terhenti, karena saya fokus sama kuliah dan kemudian membangun karir. Nah, setelah karir mulai agak mapan, saya merasakan ada dunia yang hilang dari kehidupan saya, yaitu dunia puisi. Lalu saya kembali menulis puisi sampai saat ini. Akhirnya puisi membuat hidup saya jadi berwarna.


Emi: Menurut Bang Riri, apakah peran puisi dalam perubahan sosial?


Riri: Perlu kita pahami bahwa puisi tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau pendapatan nasional, puisi tidak akan menemukan obat atau vaksin baru, puisi tidak akan menemukan sumber energi terbaharukan, dan sebagainya. Bukan itu peran puisi. 

Emi: Jadi seperti apa dong?


Riri: Begini,  puisi itu harus mampu menyentuh batin manusia, membuka paradigma, membangun empati, membangun semangat, dan sebagainya, sehingga manusia bisa berkarya untuk membangun perubahan sosial, bahkan peradaban. Puisi mampu menjadi alat untuk menggugah manusia  memelihara sistem sosial yang baik, menjaga lingkungan hidup dengan baik, menjaga nilai-nilai kemanusiaan, dan sebagainya. Misalnya kumpulan puisi Rendra yang memotret pembangunan yang disajikan dengan puitis, menjadi salah satu alat kontrol sosial. Jadi bukan puisinya yang membuat perubahan sosial, namun puisi mampu menjadi trigger buat manusia sehingga melakukan hal-hal baik untuk perubahan sosial. Jadi peran puisi itu tidak langsung dalam perubahan sosial. Itu hakikat puisi menurut saya.


Emi: Konkritnya bagaimana?


Riri: Menurut saya, puisi tak hanya dibacakan di ruang pertemuan para penyair semata. Puisi tak boleh berhenti di ruang-ruang senyap yang tak bergaung ke mana-mana. Puisi harus sampai menggugah mereka di ruang diskusi ekonomi, bisnis, teknologi, energi, kedokteran, pertanian, lingkungan hidup, dan sebagainya. Puisi dan penyair harus punya wibawa jika berhadapan dengan ini semua.


Emi: kalau menurut Bang Riri, puisi yang baik itu seperti apa?


Riri: Nah, kalau ini susah saya menjawabnya. Saya tidak punya kapasitas untuk mengulas ini panjang lebar dari sudut ilmu perpuisian. Walaupun jatuh cinta dengan puisi, saya bukan seseorang dengan latar belakang akademik dunia perpuisian. Biarlah ahlinya yang menjawab pertanyaan yang seperti ini. Namun saya hanya menegaskan bahwa puisi itu memiliki impact kepada perubahan sosial. Saya hanya mampu mengulas puisi yang baik dari dampak yang diberikan, di sisi lain, saya tidak kompeten untuk menjelaskan dari rancang bangun puisi itu sendiri.


Emi: Bagaimana seorang Riri Satria melihat kaitan antara sains dan puisi?


Riri: Saya sepakat dengan Midgley dalam bukunya "Science and Poetry" yang mengajak kita untuk melihat bahwa banyak hal bisa menjadi sumber untuk discovery atau proses pemahaman semesta ini, baik alam maupun sosial. Puisi adalah produk dari proses intelektual manusia dengan imajinasi tinggi dan merupakan suatu hasil perenungan batin si penciptanya. Dengan demikian, puisi atau seni juga merupakan suatu bentuk penalaran untuk mencoba memahami fenomena kehidupan atau bahkan alam semesta namun menempuh jalan yang agak berbeda dengan scientific inquiry. Jadi, puisi juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan intelektual manusia, tetapi menempuh jalan yang berbeda dengan sains. Ringkasnya, ending-nya sama, namun proses berbeda.


Emi: Jadi puisi atau karya sastra pada umumnya itu punya wibawa ya?


Riri: Harusnya begitu Emi. Puisi bukan hanya soal cinta picisan, patah hati, rindu, dan sebangsanya. Itu boleh-boleh saja, kan manusiawi juga. Kita manusia kan punya soft side yang bisa diekspresikan dengan puisi. Tetapi kita perlu ingat, bukankah penghargaan tertinggi untuk karya sastra (termasuk puisi) di dunia ini adalah Hadiah Nobel? Artinya setara dengan ilmu fisika, kedokteran, ekonomi, dan sebagainya, serta sama pentingnya dengan perdamaian dunia. Jadi, ya seserius itulah ...


Emi: Dulu Bang Riri pernah bilang kaitan matematika dengan puisi, bagaimana maksudnya?


Riri: Oh itu. Iya, begini Emi, ada suatu titik waktu dulu, akhirnya saya menyadari bahwa matematika itu bukanlah sekedar hitung-hitungan semata. Matematika adalah bahasa puitis yang diciptakan Tuhan untuk menjelaskan kepada manusia tentang harmoni lingkungan, alam, bahkan jagat raya. Buat saya, science is the poetry of the universe, and math is the language...


Emi: Bang Riri pernah mengatakan bahwa manusia itu berproses, berkarya itu juga berproses, seperti apa konkritnya?


Riri: Begini Emi, ketika saya kembali membaca skripsi S1 saya saat ini, saya menyadari bahwa ternyata masih banyak yang kurang tajam analisisnya, tidak tepat studi pustakanya, masih ada kekeliruan di sana sini, serta hal-hal lain yang masih harus banyak diperbaiki. Padahal dulu waktu saya membuatnya itu penuh perjuangan, sudah sangat maksimal sekali upayanya. Lalu mengapa saat ini saya bisa menemukan banyak kekeliruan, atau saya katakan analisisnya dangkal, dan sebagainya? Karena saya sudah berproses! Dengan kemampuan saat ini saya bisa menilai hasil karya saya di masa lalu dan menemukan banyak hal yang harus diperbaiki.


Emi: Begitu juga dengan puisi?


Riri: Nah benar, itu maksud saya. Kemampuan menulis puisi seseorang pun berproses. Menurut saya, wajar jika seorang yang baru menulis puisi, maka puisinya masih belum matang, namun dia membuatnya sudah penuh perjuangan. Nah, saya yakin, dia akan berproses, kita semua akan berproses. Jika dia belajar dengan baik, maka kualitas karyanya akan membaik dan membaik. Kita harus proporsional dalam menilai ini. Ketika dia memang masih pemula, maka nilailah dengan "standar pemula", tentu tidak fair jika kita bandingkan karyanya dengan para penyair senior yang sudah kenyang pengalaman atau para maestro. Kita harus memberi ruang untuk berproses untuk setiap orang. Ibaratnya, jangan menilai skripsi S1 dengan standar disertasi S3.


Emi: Kalau Bang Riri sendiri bagaimana?


Riri: Ya sama juga. Saya sendiri juga masih berproses semuanya, baik di dunia akademik, maupun di dunia perpuisian. Waktu menulis "Winter in Paris" tahun 2016, kayaknya sudah optimal sekali. Namun, kalau saya baca lagi saat ini, wah ternyata masih banyak yang harus diperbaiki ha ha ha .. Begitulah, kita berproses. Tidak ada manusia yang langsung hebat tanpa berproses, kecuali benar-benar dianugerahi bakat luar biasa oleh Tuhan, itu pun butuh proses untuk membentuknya, namun mungkin prosesnya lebih cepat.


Emi: Apa pesan Bang Riri kepada kita semua yang berproses?


Riri: Kita semua berproses, dan itu sangat alamiah dan manusiawi. Saya, Emi, dan semua sahabat di sini berproses. Bahkan bidang yang berproses dalam diri kita bisa jadi tidak satu atau ada beberapa. Misalnya pada diri saya, pada penelitian di kampus, saya sudah membimbing tesis S2, namun soal perpusian, saya mungkin masih harus banyak belajar lagi. Tetap belajar dan belajar. Belajar itu membutuhkan growth mindset, terbuka menerima semua masukan atau hal-hal baru untuk kemajuan kita. Jauhkan dari sikap jumawa. Nah, yang gawat itu kan baru bikin skripsi S1 tetapi lagaknya sudah kayak profesor, baru belajar satu dua jurus tetapi lagaknya sudah kayak pendekar sakti .. hahaha .. atau baru satu dua puisi muncul di antologi bersama, lagaknya sudah kayak penyair top .. Belajar perlu kerendahan hati, bahkan saya juga belajar dari mahasiswa-mahasiswi saya, banyak hal-hal baru dan menarik saya peroleh dari mereka .. Yuk, sama-sama berproses, dan kita nikmati proses itu .. Berproses itu tak pernah berhenti, karena di atas langit pun masih ada langit yang lain ..


Disclaimer: Images, articles or videos that exist on the web sometimes come from various sources of other media. Copyright is fully owned by the source. If there is a problem with this matter, you can contact