Sebuah Dialog Imajiner tentang Perjalanan Puisi - Riri Satria - Jagat Sastra Milenia

JSM News

Sebuah Dialog Imajiner tentang Perjalanan Puisi - Riri Satria

Sebuah Dialog Imajiner tentang Perjalanan Puisi - Riri Satria

SEBUAH DIALOG IMAJINER TENTANG PERJALANAN PUISI

(in memoriam penyair Yoevita Soekotjo)

Riri Satria




Wawancara imajiner ini ditulis oleh Riri Satria berdasarkan perbincangan selama ini dengan Yoevita, dan merepresentasikan pandangan dan sikap Yoevita dalam menyikapi berbagai hal. Yoevita Soekotjo wafat tanggal 16 Februari 2021, setelah berjuang melawan Covid-19, dan dimakamkan di TPU Bambu Apus, Jakarta Timur. Al-fatihah untuk Yoevita.


Riri: Sejak kapan seorang Yoevita Soekotjo mulai menulis puisi?


Yoevita: Latar belakang saya itu sebenarnya teater. Saya mulai aktif berteater sejak bersekolah di SMA Negeri 12 Jakarta Timur, tahun 1983, dan saat itu teater kami di sekolah bernama Teater Alun. Sambil aktif di dunia teater, saya juga sekali-sekali menulis puisi. Jadi saya itu mulainya dari dunia teater, baru memasuki dunia puisi. 


Riri: Lalu bagaimana peran atau pentingnya teater dan puisi untuk seorang Yoevita Soekotjo?


Yoevita: Melalui teater dan puisi, saya melakukan kontemplasi perjalanan hidup, mencoba berdialog dengan diri sendiri serta Tuhan Yang Maha Kuasa. Melalui keduanya saya bisa menggugat atau memberontak terhadap suatu sistem atau tatanan sosial, karena saya tidak punya kapasitas untuk memperbaiki sistem apa pun, selain menuangkannya ke dalam panggung teater atau teks puisi. Terakhir tentu saja puisi itu adalah ekspresi emosi, pelampiasan rasa sedih, marah, takjub, kasihan, sampai dengan rasa cinta. Puisi buat saya adalah suara hati, sesuatu yang berasal dari jiwa terdalam.


Riri: Kapan mulai menulis puisi menjadi lebih serius?


Yoevita: Ketika tinggal di Medan dan aktif berteater dan berpuisi di Taman Budaya Sumatra Utara (TBSU), pada tahun 2007 - 2014. Saya mulai banyak menulis puisi, apalagi setelah mengenal Facebook. Namun sayang sekali, puisi-puisi yang saya tulis sebelum tahun 2015 banyak yang hilang, berbarengan dengan “hilangnya” akun Facebook saya saat itu, karena sesuatu hal tidak bisa dipergunakan lagi. Banyak sekali puisi ditulis di akun lama tersebut dan tidak ada backup-nya. Hanya ada beberapa puisi yang masih “diselamatkan” karena ditulis di kertas serta yang pernah dimuat di media daring. Sementara itu, puisi yang dibuat sebelum tahun 2011 yang banyak ditulis di kertas dan buku catatan, hampir semuanya hilang karena beberapa kali pindah tempat tinggal di Medan.


Riri: Wah, sayang sekali ya. Jadi bagaimana dengan buku 'Pengantin Puisi' yang terbit tahun 2019 dulu?


Yoevita: Semua puisi yang dimuat pada buku itu adalah puisi yang mulai ditulis mulai tahun 2015 sampai awal tahun 2019 di Facebook, ditambah dengan beberapa puisi yang ditulis sebelumnya yang masih bisa “diselamatkan”. 


Riri: Ya, saya ingat pada awal tahun 2019, Yoe meminta bantuan saya untuk menelusuri jagat internet melalui search engine Google dan metode archive lainnya untuk melacak keberadaan puisi-puisi Yoe yang ditulis sebelum tahun 2015. Hasilnya, tidak banyak yang bisa diperoleh. Sayang sekali. Padahal Yoe sudah menulis puisi di Facebook sejak tahun 2011. That's the best we can do, saat itu.


Yoevita: Ya begitulah, sayang sekali memang. Namun itu jadi pelajaran buat saya. Setelah itu saya lebih rapi dalam mendokumentasikan semua karya puisi saya. Buat seorang penyair, karya puisi itu adalah perjalanan sejarah yang sudah melewati masa kontemplasi, sehingga penting untuk menyimpan karya yang baik, benar, dan aman.


Riri: Bagaimana dengan buku puisi kedua 'Opera Tujuh Purnama'? 


Yoevita: Itu adalah buku kumpulan puisi saya yang kedua, terbit pada bulan Februari 2020. Peluncurannya dilaksanakan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang juga sangat berkesan buat saya, karena bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun saya yang ke-54, 10 Februari 2020. 


Riri: Apa yang menjadi perhatian pada buku kedua ini?


Yoevita: Terus terang, belum ada topik yang spesifik selain masih merupakan catatan perjalanan hidup yang saya alami dengan berbagai masalah sosial dan kemanusiaan. Namun, saya merasa puisi saya sudah lebih baik pada buku kedua ini. Saya banyak mendapatkan masukan dari para sahabat penyair pada acara peluncuran buku 'Pengantin Puisi'. Misalnya, masukan yang mengatakan bahwa kecenderungan sekarang orang menulis puisi sifatnya reaktif atau merespon suatu kejadian dengan cepat, sehingga aspek perenungan berkurang, dan akhirnya puisinya kurang menggigit. Saya pun lebih serius memperhatikan hal ini untuk memperbaiki kualitas puisi saya.


Riri: Kalau tidak salah, ada catatan dari kritikus sastra, Pak Maman Mahayana untuk buku itu ya?


Yoevita: Ya, Pak Maman banyak memberikan kritik dan masukan yang berharga. Saya sangat terbuka dengan kritik dan menjadikannya pelajaran untuk lebih baik lagi ke depannya. Namun saya senang, karena Pak Maman mengatakan bahwa ke-72 puisi yang ada di dalam buku 'Opera Tujuh Purnama' merupakan representasi suara hati tentang cinta tanah air, penolakan terhadap kemunafikan, kemarahan kepada mereka yang memperalat agama, serta kecintaan terhadap Tuhan dengan sebutan apapun. 


Riri: Bagaimana dengan Women of Words Poetry Slam pada Ubud Writers and Readers Festival 2019 di Ubud Bali? Bagaimana ceritanya bisa jadi juara saat itu?


Yoevita: Wah itu pengalaman yang sangat mengesankan. Kompetisi tersebut diselenggarakan khusus untuk para perempuan penyair bergaya slammer, dan tahun ini diikuti oleh 18 peserta dari berbagai negara. Salah satu juri adalah Melanie Mununggurr-Williams, juara Australian Poetry Slam 2018. Aura kompetisi ini sungguh berbeda. Di samping membacakan pusi dalam Bahasa Inggris, di mana saya  belum terbiasa, poetry slam menekankan kepada slamming pada pembacaannya, bukan deklamasi atau teaterikal. Saya butuh penyesuaian diri untuk poetry slam, karena latar belakang saya adalah teater. Alhamdulillah, saya jadi pemenang, walau saya sendiri juga tidak menduga sebenarnya.


Riri: Selain di Ubud, di mana lagi membaca puisi yang berkesan?


Yoevita: Di kota Bukittinggi, Sumatra Barat, tepatnya di pelataran Jam Gadang, pada suatu sore tanggal 30 Desember 2019. Saya bangga bisa baca puisi di sana disaksikan oleh ratusan pasang mata pengunjung Jam Gadang saat itu. Kemudian juga saat baca puisi di Tugu Tuanku Imam Bonjol di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat. Bahkan saya mengalami kejadian mistik saat di Bonjol saat itu. Ada satu lagi festival sastra yang berkesan buat saya, yaitu Banjarbaru's Rainy Day Literary Festival tahun 2019. 


Riri: Namun setelah itu, Yoe sakit dan sempat diopname selama sebulan. Sakit apakah itu?


Yoevita: Ya, sakitnya sudah komplikasi. Gula darah saya tinggi, kemudian juga hipertensi. Kemudian HB darah sangat rendah sampai saat itu harus transfusi darah beberapa kali. Kemudian komplikasi sudah sampai ke ginjal, dan saya harus menjalani cuci darah. Saya diopname selama sebulan di Rumah Sakit Budhi Asih Jakarta pada bulan Februari - Maret 2020. Bahkan sempat selama dua minggu dirawat di ICU.


Riri: Bagaimana setelah keluar dari perawatan di Rumah Sakit saat itu? 


Yoevita: Setelah keluar dari Rumah Sakit, fisik saya agak lemah, dan perlu pemulihan agak lama. Saya harus tetap menjalani cuci darah dua kali seminggu dan ke mana-mana harus dibantu oleh kursi roda. 


Riri: Bagaimana dengan menulis puisi?


Yoevita: Saya tetap menulis puisi. Selagi pikiran dan imajinasi saya masih berjalan baik, selagi tangan saya masih bisa mengetik di laptop maupun handphone, maka saya akan tetap menulis puisi. Selagi saya masih bisa berteriak, saya akan tetap membaca puisi. Semangat berpuisi saya tidak akan pernah hilang, walau saya sudah banyak memiliki keterbatasan. Walau dibantu kursi roda, saya tetap hadir di Kafe Sastra Balai Pustaka untuk baca puisi ketika memperingati HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus tahun 2020.


Riri: Yoe juga sempat membuat satu buku lagi ketika pemulihan kesehatan, yaitu buku 'Reborn! Move On!'. Bisa diceritakan tentang buku ini?


Yoevita: Begini, ada manusia yang diberikan keberuntungan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga bisa menemukan jati dirinya sejak dini lalu menyusun visi untuk hidupnya ke depan. Namun tidak semua manusia seberuntung itu. Banyak juga orang seperti saya yang karena dinamika perjalanan hidup hanya mengalir seperti air waktu demi waktu, sehingga tidak sempat memikirkannya, akibatnya terlambat menemukan identitas atau jati diri sendiri. Siapakah saya sebenarnya? Apa tujuan hidup saya? Ada acara baca puisi, saya ikut. Ada acara teater, saya ikut. Ada yang ngajak kegiatan ini dan itu, saya ikut. Ada kerjaan yang menghasilkan duit dan halal, saya ikut, gak cuma terbatas di dunia kesenian. Saya juga ikutan nongkrong sama kawan-kawan di TIM. Begitu juga ketika dulu di Medan. Tetapi, saya ini apa ya? Mau ke mana sebenarnya?


Riri: Wah, menarik. Lalu bagaimana?


Yoevita, Saya baru menyadarinya awal tahun 2019. Terlambat dari sisi usia. Namun seperti kata pepatah tidak ada kata terlambat! Ringkas cerita saya mulai menemukan jati diri saya, siapa saya ini? Mau jadi apa saya ini? Saya tertatih-tatih dalam proses menemukan jati diri tersebut. Paradigma dan wawasan saya dibuka. Saya "dipaksa" untuk menggali diri sendiri, melihat lingkungan sekitar, melihat ke depan, merumuskan semua hal tentang diri saya. Saya tersentak, banyak hal yang sempat hilang dalam hidup saya dan harus saya kembalikan lagi. 


Riri: Jadi buku 'Reborn! Move On!' berisi proses transformasi seorang Yoevita?


Yoevita: Ya, kira-kira begitulah. Semoga bisa menginspirasi yang lainnya. Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik.


Riri: Apa pelajaran berharga yang ingin disampaikan melalui buku tersebut?


Yoevita: Ada tiga hal penting. Pertama, hidup tanpa jati diri dan tanpa visi, adalah hidup yang tak berarti. Kedua, Tuhan tidak mengubah nasib seseorang, jika dia tak berupaya mengubah nasibnya sendiri terlebih dahulu. Ketiga, Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tetapi mungkin kita tidak sadar atau mata dan pikiran kita tertutup sehingga tak mampu melihat kasih sayang Tuhan pada diri kita. Kita harus menemukannya sendiri, menyukuri, dan mengoptimalkannya dalam hidup.


Riri: Suatu proses yang sangat menarik.


Yoevita: Iya. Ada satu lagi. Saya percaya ketika dikatakan bahwa bisa jadi kita membutuhkan orang lain, sahabat yang sekaligus berperan sebagai mentor, sparring partner, dan motivator dalam proses ini. Saya sudah merasakan bagaimana diri saya "diacak-acak" lalu ditata ulang kembali dan bertransformasi pada tahun 2019. Saya reborn! Dari Yoevita yang tidak jelas arahnya dan berproses. Mungkin itu yang namanya soulmate dalam hidup.


Riri: Oh ya, sempat aktif dalam gerakan #SaveTIM? Bagaimana ceritanya?


Yoevita: Saya tidak menentang revitalisasi TIM, sama sekali tidak. Saya malahan mendukung supaya para seniman mendapatkan tempat yang layak untuk berkesenian di tengah kota Jakarta, sekaligus akan membuat Jakarta semakin berbudaya karena kesenian. Namun, saya menentang revitalisasi TIM jika sampai menghilangkan marwah TIM sebagai sentra seni budaya dan menjadikannya sebagai sentra ekonomi dengan seni dan budaya hanya sebagai pelengkap! Jika memang TIM mau direvitalisasi, maka tujuannya tetap menjadi rumah para seniman dan budayawan, tanpa dikotori oleh kepentingan bisnis dan ekonomi. TIM harus tetap menjadi sentra kesenian dan kebudayaan dengan segenap marwahnya. Begitulah pendirian saya.


Riri: Apa pesan untuk penyair dan pencinta puisi?


Yoevita: Puisi bukanlah semata teks atau tulisan. Puisi adalah jiwa dan marwah. Puisi adalah representasi kehidupan. Tetaplah berpuisi, karena puisi akan mengawal peradaban.


Disclaimer: Images, articles or videos that exist on the web sometimes come from various sources of other media. Copyright is fully owned by the source. If there is a problem with this matter, you can contact