Wanita dalam Perpuisian Indonesia - Nanang R Supriyatin - Jagat Sastra Milenia

JSM News

Wanita dalam Perpuisian Indonesia - Nanang R Supriyatin

Wanita dalam Perpuisian Indonesia - Nanang R Supriyatin

 WANITA DALAM PERPUISIAN INDONESIA

Nanang R. Supriyatin



Seberapa pentingkah membicarakan posisi wanita dalam khasanah perpuisian Indonesia? Saya katakan sangat penting. Keberadaannya setara dengan posisi kepenyairan pria. Setiap kali terngiang istilah angkatan, periodisasi maupun perkembangan perpuisian Indonesia – kepenyairan wanita senantiasa disejajarkan atau disandingkan dengan kepenyairan  pria. Pembaca lebih fokus pada kualitas ketimbang kuantitas, jenis kelamin maupun latar belakang. 


Sekilas Catatan Persentase


1. Buku Kartini Menurut Saya (2021), menghimpun 70 penyair.

- 49 penyair pria (+/- 80%)

- 21 penyair wanita (+/- 20%)

2. Buku Upacara Puisi (2021), menghimpun 37 penyair.

- 22 penyair pria (+/- 60%)

- 15 penyair wanita (+/- 40%)

3. Buku Antologi Puisi Penyair Nusantara, Jakarta dan Betawi (2021), menghimpun 110 penyair.

- 78 penyair pria (+/- 74%)

- 32 penyair wanita (+/- 26%)

4. Buku Antololgi Puisi 81 Penyair Indonesia (2021), menghimpun 81 penyair.

- 57 penyair pria (+/- 72%)

- 24 penyair wanita (+/- 28%)

5. Sayembara Buku Puisi HPI 2021, diikuti estimasi sekitar 158 penyair dari berbagai daerah di tanah air.

- 131 penyair pria (+/- 85%)

- 25 penyair wanita (+/- 15%)

6. Lomba Cipta Puisi Facebook 2021 yang mengusung tema “Puisi dan Era Digitalisasi”, diikuti  estimasi sekitar 420 penyair dari berbagai daerah di tanah air.

- 320 penyair pria (+/- 74%)

- 100 penyair wanita (+/- 26%)


Peserta Lomba Cipta Puisi Facebook ada penurunan dari tahun sebelumnya yang mengusung tema “Puisi yang Memberi: Keberagaman dan Keiindonesiaan”, diikuti 537 penyair. Menurut panitia, sekitar 30% diikuti oleh penyair wanita.


Tak bisa dipungkiri bahwa dunia sastra Indonesia khususnya di genre puisi sampai saat ini masih didominasi penulis pria. Hal ini tentu menjadi ironi mengingat data yang sering kita dengar mengatakan bahwa jumlah wanita saat ini lebih banyak daripada jumlah pria. Ataukah sebenarnya wanita menulis puisi tapi tak terpublikasi (hanya menjadi dokumen pribadi semata)? Atau justru malah dunia sastra kita (khususnya puisi) belum membuka ruang yang besar bagi kehadiran penyair perempuan (karya-karya mereka dimuat tetapi belum banyak mendapat perhatian)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut agak susah untuk dijawab. Perlu sebuah kajian mendalam untuk mengetahui masalah yang ada. Tetapi jika boleh meraba, minimnya jumlah penulis wanita (khususnya di genre puisi) tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang ada di Indonesia termasuk juga mengenai genre puisi sendiri sebagai alat penyampaian ide.


Dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia yang ditulis oleh Ajip Rosidi tahun 1991, terdapat sub-judul tentang para pengarang wanita. Uraiannya dimulai pada periode 1933-1942, saat lahirnya majalah Poedjangga Baroe. Di situ disebutkan bahwa pada masa sebelum perang, tidak banyak ditemukan pengarang wanita Indonesia.


Ada satu yang sangat terkenal yakni Selasih atau Seleguri. Nama aslinya Sariamin Ismail. Beliau dilahirkan di Talu, Talamau, Pasaman barat, Sumatra Barat, 31 Juli 1909. 


Pada periode 1962 hingga tahun 70-an, perempuan pengarang mulai bertaburan, begitu juga untuk pengarang puisi seperti Rayani Sriwidodo, Poppy Donggo Hutagalung, Isma Sawitri dan Diah Hadaning.


Pada periode tahun 1990-an sampai sekarang (baca: “Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia”, dokumentasi Korrie Layun Rampan), muncullah sejumlah perempuan pengarang yang semakin banyak. Ini berarti ruang bagi perempuan berkarya jauh lebih baik dibandingkan dengan masa-masa awal kelahiran sastra Indonesia. Di periode ini kita mengenal Dorothea Rosa Herliany, Nenden Lilis Aisyah, Helvy Tiana Rosa, Ulfatin Ch serta Abidah El Khalieqy. 


Posisi Nunung “Sumur Umur” Noor El Niel


Puisi bagi Nunung serupa “jalan tengah” yang memutuskan untuk tidak menyerah. Bukan dengan melupakan masa lalu tersebab itu pelajaran yang ditanak dalam “kompor ingatan”… (endors Kurnia Effendi). Simak: “kau membaca fiksi/ jika itu hanya dongeng/ untuk dipercaya/ sebagai kisah nyata” (Keimanan, bait 1). “doa yang kuaminkan di hari minggu/ telah menjelma sayap-sayap merpati/ di mana ruh diembuskan/ dari keimanan yang teguh (Di Lekuk Usia, bait 1).


Puisi-puisi Nunung Noor El Niel secara keseluruhan menarik menceritakan tentang kehidupan dengan kata sederhana dan mudah dipahami… (endors Nia Samsihono). Simak puisi berjudul “Celoteh”. “air kenikmatan menyatu di tubuh/ kau mencoba memuntahkannya/ saat cacing cacing di otakmu/ menjalari seluruh keegoanmu” (bait 1). “perempuan jalang penghiburmu/ akan ada di sampingmu/ mengaminkan apa yang kau lakukan/ sampai kau pecah dan berantakan” (bait 4).


“Sumur Umur”… merupakan sebuah isyarat perjalanan hidup yang dikesankan dengan kuat oleh penyairnya lewat berbagai kejadian yang diperistiwakan atau memperistiwai seluruh karya-karya puisinya… (endors Harris Priadie Bah). “… Buku puisi ini penuh warna warni tentang cinta, kasih, kegalauan, bahkan pemberontakan yang menggelisah atas nama “cinta” terhadap sesiapa saja… (endors Dyah Kencono Puspitadewi). Gambaran ini terbaca di puisi berjudul “Kau dan Aku” (hal. 43), dan “Cermin” (hal. 65).


Akhirnya Sofyan RH. Zaid lebih fokus pada puisi berjudul “Bus Kota” sebagai puisi yang disukainya. 


BUS KOTA


ada yang menjauh

tapi bukan jarak

ada yang mendekat

tapi bukan waktu


kita pun mengukur

setiap bilangan

tanpa logika

dan menyebutnya


: perjalanan


(Denpasar, 23 Maret 21)


Petikan yang saya comot dari endors di buku “Sumur Umur” secara umum menggambarkan bahwa puisi-puisi Nunung Noor El Niel memang punya tempatnya sendiri, sebagai sebuah kenyataan. Puisi bagi seorang wanita ialah ungkapan dengan bahasa yang halus. Puisi itu realita. Puisi itu semacam dorongan dan tekanan dari dunia sekitar serta dari pribadi yang memungkinkan tumbuh menjadi sebuah kalimat (diksi), pengungkapan tokoh aku yang tidak terlalu menonjol (semacam setting), serta gaya bahasa (majas) yang terjaga. Mungkin pernyataan ini agak klasik dan bombamtis. 


Seandainya saya belum pernah membaca buku “SU”, kemudian saya diminta berpendapat (tentunya setelah membaca buku kumpulan puisinya yang lain), maka saya akan katakan bahwa dunia Nunung (baca: imajinasi Nunung saat berpuisi) adalah dunia visualisasi dan simbolisasi. Tapi, setelah membaca buku ini, ternyata pendapat saya keliru. Imajinasi saya tentang “SU” telah memberi isarat bahwa manusia itu memiliki keterbatasan. Pola pikir serta daya serap terhadap sandiwara dunia hanya ciptaan-ciptaan sementara. Kehidupan manusia kembali pada hakiki. Bisa jadi ini dimulai dari fiksi, dongeng-dongeng serta kisah nyata hingga menumbuhkan rasa iman dan imun kita.


Di bawah ini ada dua puisi dari buku yang berbeda, dengan daya tangkap yang juga agak berbeda, namun kedua puisi memiliki kesamaan pada gaya bahasa yang dinamis. 


DI LEKUK USIA (dari antologi puisi “Sumur Umur”, 2021).


doa yang kuaminkan di hari minggu

telah menjelma sayap-sayap merpati

di mana ruh diembuskan

dari keimanan yang teguh


maka kini, biarkan aku menutup

semua keperempuananku

meskipun bukan sebagai perawan suci

sebagai juru damai, bagi diriku sendiri


dan inilah sujudku

di lekuk usia

di sisi waktu


(Denpasar, 19 Oktober 2020)


Lelaki Di Selangkangan Malam (dari antologi puisi “Perempuan Gerhana”, 2013).


lelaki itu menjerang matahari

membakar cahaya

memanjangkan bayangan

pada setiap langkahnya


tubuhnya tegap, dadanya bidang,

otot-ototnya menggumpal

berkilau seperti tembaga

tatapannya tajam dan jauh

melewati batas-batas petualangan


:ke barat!

suaranya berat dan dalam


lelaki itu mengangkat dagunya

penuh keangkuhan

jari-jarinya yang kukuh

mulai mencengkram setiap impian

dengan rambutnya yang terurai


tapi di selangkangan malam

lelaki itu tersesat dan terjaga

ketika ia menemukan dirinya

di samping seorang wanita

menggunting malam


pada setiap rambutnya

lelaki itu pun terkapar

dalam diam


(Denpasar, 03122013).


Lantas dimanakah posisi Nunung Noor El Niel? 


Dalam jagat kepenyairan, nama NNEN kian dikenal, terutama setelah puisi-puisinya menghiasi Koran-koran ternama seperti Indopos, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Analisa dan tentunya Koran Bali Post, Denpasar Pos serta Nusa Bali – dimana NNEN bertempat tinggal dan bergaul dengan banyak sastrawan di sana. Kehadirannya di komunitas Jatigagat Kampung Puisi (JKP), Denpasar dan di Jagat Sastra Milenia (JSM), Jakarta membuat ia makin produktif. Pergaulannya dengan dunia puisi Pasca terbitnya buku “Solitude” (2012), “Perempuan Gerhana” (2013), “Kisas” (2014), “Perempuan Dari Tujuh Musim” (2016), dan “Betinanya Perempuan” (2019) kian mendapat tempat. Meskipun belum ada pengamat sastra, baik dari penulis akademisi maupun dari penulis otodidak; setidaknya namanya dapat disejajarkan dengan Ni Made Purnama Sari, Ni Putu Vivi Lestari, Rd. Kedum, Rini Intama, Emi Suy, Rissa Churia, dan sebagainya. 


Penyair berusia 60 tahun ini sesungguhnya ingin menyampaikan pesan, bahwa “Aku masih eksis dan akan terus eksis!”


-Disampaikan pada Peluncuran & Diskusi Seri Buku Puisi JSM, Sumur Umur, Nunung Noor El Niel, dalam Perayaan Ulang Tahun Pertama JSM, Cempaka Room, Hotel Bumi Wiyata, Depok, 10 Oktober 2021.

Disclaimer: Images, articles or videos that exist on the web sometimes come from various sources of other media. Copyright is fully owned by the source. If there is a problem with this matter, you can contact