Tafsir Puisi "Kedai Kopi"-Nya Emi Suy - M. Faizi - Jagat Sastra Milenia

JSM News

Tafsir Puisi "Kedai Kopi"-Nya Emi Suy - M. Faizi

Tafsir Puisi "Kedai Kopi"-Nya Emi Suy - M. Faizi

TAFSIR PUISI "KEDAI KOPI"-NYA EMI SUY

M. Faizi




Emi Suy

KEDAI KOPI 


di kedai kopi 

orang-orang datang membawa sepi 

bersama hujan 

sepasang mata menatap lekat buku menu

mereka memesan kopi dan ciuman 

melumat keriuhan kota dan binar 

lampu yang berpijar

seseorang mengulum sunyi 

bertukar sukar di riuh dada yang belukar

seperti hutan pinus yang berselimut kabut

segelas kopi huzelnut late itu 

membunuh waktu 

percakapan bibir dengan cangkir 

kata-kata yang tumpah, 

menyusup dalam pikir


orang-orang masih khusyuk 

menyesapi malam yang zig zag

dari secangkir kopi yang mereka pesan

ada yang menyusun serpihan puzzle 

agar kembali menjadi rindu 

yang utuh 

hati yang penuh

yang sering luluh 

oleh jarak terjauh 

bernama diam 


2019


Peristiwa di dalam puisi ini, oleh penyair, dipotret di suatu tempat, yaitu (di kedai kopi), tempat yang menurutnya merupakan tempat (orang-orang datang membawa sepi bersama hujan). Dua kata ini, sepi dan hujan, memang pasangan kata yang sering digunakan oleh banyak penyair untuk menggambarkan nostalgia atau romantisme atas suatu tempat, dan tempat yang paling tepat adalah kedai kopi, kafe. Jadi, penyair memasukkan dua kata tersebut supaya menjadi pintu bagi pembaca yang akan masuk pada suasana yang akan dibangun oleh si penyair pada babak berikutnya.


Penyair Emi lalu menangkap seseorang orang, yang barangkali sedang menunggu pasangan atau sekadar ingin menyendiri. Semula saya kira dua sejoli, laki dan perempuan, bisa jadi suami istri tapi bisa juga hanya sepasang kekasih yang tak terjalin akad pernikahan, dan menerjemahkannya secara pars pro toto dengan menyebut (sepasang mata menatap lekat buku menu), sebuah aktivitas yang biasa kita lihat di kedai kopi saat orang baru datang pertama kali. Tapi kok (mereka) Saya agak khilaf karena saya berpikir lagi, yang saya tangkap pada "sepasang mata" itu hanyalah seorang, bukan sepasang mata kali dua sehingga menjadi dua orang. Entah, biar nanti si penyair yang menjelaskannya meskipun itu bukan kewajibannya. 


Oh, iya, mereka itu — jika benar sepasang kekasih, dua anak manusia yang sedang memadu cinta — tampak (memesan kopi dan ciuman). Kopi adalah literal, sementara ciuman adalah metaforis jika ia ada di daftar menu. Saat keduanya dipadukan, lahirlah nuansa puitik. 


Kegiatan sepasang kekasih itu digambarkan penyair dalam kalimat berikut: bahwa yang dilakukan mereka di dalam kesepian —barangkali yang dimaksudkannya adalah kesyahduan suasana— bahkan mampu (melumat keriuhan kota dan binar, lampu yang berpijar). Kesepian dapat mengalahkan keriuhan. Hujan dapat meraibkan lampu-lampu yang terang. Kok bisa? Karena cintalah yang menjadi lakon dan sutradaranya.


Akan tetapi, tampaknya, penyair memotret sudut yang lain di tempat yang sama, di sebuah kedai kopi, sehingga hasil jepretannya menangkap (seseorang) yang (mengulum sunyi). Anda bisa bayangkan, bagaimana sunyi sebagai metafor bibir sehingga pantas dikulum? Saya tidak mampu. Ia terlalu sensitif untuk ditelusuri, khususnya bagi saya yang sedang tidak bisa objektif dalam keadaan labil seperti sekarang ini. Bagi saya, pada bagian itu, Penyair Emi ingin menampilakn sosok tersebut sebagai 'binary' bagi sepasang kekasih di meja lainnya. 


Ternyata, orang-seorang yang sendirian pun dapat melakukan aktivisme yang sejatinya hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, yaitu (bertukar). Bertukar apa? Bertukar pendapat? Bukan! 


Karena seorang diri, maka yang dipertukarkan adalah “problem” atau masalah pribadi atau benang kusut pikiran yang diwujudkan dalam kata (sukar). Hal ini diperkuat oleh pernyataan berikutnya, keterangan tempat, yaitu (di riuh dada yang belukar). Artinya, seseorang itu sedang bertukar pendapat dengan dirinya yang lain, sedang menimbang, sedang menekur, sedang tafakaur, menghadapi persoalan atau masalah yang dilambangkan dengan "belukar". Belukar adalah kata sifat yang diposisikan sebagai adjektif, yang sebetulnya ia bisa berposisi sebagai menotimia, yaitu rangkaian-rangkain pertautan pemahaman yang panjang untuk sampai pada maksud si penucap: masalah di dalam dada, masalah itu identik dengan kerumitan, dan kerumitan biasanya digambarkan dengan keruwetan yang dalam hal ini digambarkan sebagai belukar alias lawan dari taman yang biasanya tertata dan terpola.


Kondisi seperti ini ia asosiasikan dengan perbandingan (seperti hutan pinus yang berselimut kabut). Kondisi sepi, temaram, redup, dingin, dan mungkin saja ‘gelap dan murung’ terkesan dari pemandangannya. (segelas kopi huzelnut late itu) yang dipesan oleh si orang tadi, telah berhasil (membunuh waktu), yaitu kesendiriannya, yang seakan-akan ia tidak benar-benar sendiri karena oleh si penyair digambarkan sedang terlibat dalam sebuah obrolan, yaitu (percakapan bibir dengan cangkir). 


Apa saja yang terjadi? Yang telah terjadi adalah (kata-kata yang tumpah), tapi tidak ke tanah, melainkan (menyusup) ke (dalam pikir).


Dua situasi di atas adalah potret dua sudut, dua tempat, dua situasi yang berbeda tapi penyair berhasil menemukan beberapa kesamaannya, yaitu interaksi, percakapan. 


Nah, berikutnya, penyair membuka area lensanya, melebar, sehingga di kafe itu, sekarang, tampaklah (orang-orang) yang (masih khusyuk) dan mereka kelihatannya (menyesapi malam yang zig zag). Kok zigzag? Entahlah, malam zigzag itu kayak apa? Tak terbayangkan dalam pikiran saya, apalagi ia muncul dan bermuasal (dari secangkir kopi yang mereka pesan). 


Barangkali, ia disebut zigzag karena begitu tercerai-berainya situasi yang ditangkap oleh si penyair, tapi bisa jadi, orang ketiga yang disebut di sini itu sebetulnya adalah si penyair itu sendiri. Ini masuk akal karena sepertinya si penyair tidak hanya sekadar memotret situasi di sebuah kedai kopi, tapi ia juga ingin dirinya berada di dalam potret itu, menjadi bagian dari foto, namun —ibarat kata— tanpa harus melakukan selfie. Sosoknya ia wakilkan pada "(ada) seseorang, yaitu si penyair sendiri (yang menyusun serpihan puzzle, agar kembali menjadi rindu, yang utuh, hati yang penuh, yang sering luluh, oleh jarak terjauh)".


Dari serangkaian kata ini, di samping penyair menjaga rima “uh” pada setiap akhir lariknya, penyair juga berusaha untuk menggambarkan kenangan-kenangannya itu laksana puzzle yang tercerai-berai dan berusaha disusun ulang sampai utuh sehingga sempurna kembali menjadi rindu, suatu hal yang sering terjadi karena jarak yang jauh. 


Dan apakah yang dilakukannya? Menahan? Melepaskan? Meronta? Yang dilakukannya itu... (bernama diam) 


2023

Disclaimer: Images, articles or videos that exist on the web sometimes come from various sources of other media. Copyright is fully owned by the source. If there is a problem with this matter, you can contact